Pecutan Semangaatt itu Kembali memukulku, minggu sore saat
shalat dzuhur telah ditunaikan ada ajakan menarik dari kawanku izma, “ikut
acara bedah buku yuk, di fathullah!” aku sontak bersemangat mengiyakan seiring
senyum“ yuk , bareng yah” “ok, izma tunggu dibawah”. Beberapa menit kemudian
kamipun siap melangkah dengan 1 tujuan yang sama, mesjid fathullah. Setibanya
disana, ternyata acara sudah dimulai sedari tadi. Iyah, tepat sekali. Kami
berdua terlambat datang. Sehingga tanpa basa-basi kami langsung mencari lahan ,
menerobos masuk kedalam barisan orang-orang yang duduk, tanpa sadar ada yang
mengenali kami berdua. Adalah meyda namanya, ia kawan kami di asrama. “hey,
udah registrasi blum?” “hmmm...belum”
kami jawab dengan gelengan kepala penuh malu. Lalu, kamipun keluar lagi
mengulang formalitas yang disepakati bagai biasanya “registrasi dulu”. Dan
Nasib baik nampaknya sudah berjalan pergi beberapa menit sebelum kedatangan
kami, hanya kami berdua yang tidak diberi snack karena kehabisan. Untungnya, masih
bersisa air minum kemasan gelas. Lumayan lah, tuk menyiram keringnya
tenggorokan ini.
Hening...semua menyimak penuh
takjim yang sesekali menggemuruhkan tepukan tangan. Penulis muda pemilik nama
Ahmad Fuadi pengarang trilogi novel Negeri
lima Menara, Ranah Tiga Warna,
dan yang terakhir Rantau Satu Muara.
Satu per satu karyanya dipaparkan ulang secara ringkas, dan untungnya aku telah
tuntas membaca kesemua novel tersebut sedari SMA, dan tanpa mengeluarkan biaya
dalam kurung gratisan :D. Masih ku ingat betul sampai sekarang, Novel “Negeri
Lima Menara” aku temukan disudut rak perpustakaan SMA, “Rantau Tiga Warna” aku
pinjam di PUSDA Serang, dan untuk yang terakhir “ Rantau 1 Muara” aku temukan
di kamar kk tingkat yang kebetulan punyai hobi yang sama membaca novel.
Ada beberapa kalimat dari Ahmad
Fuadi yang terekam jelas dimemori ini, ia bertutur bahwa tidak semua
kesungguhan menghasilkan keberhasilan. Iya memang, betapa banyak kesungguhan
yang tak berujung apa-apa, betapa banyak kesungguhan yang hanya mengundang iri
pada beberapa orang yang diberi kemudahan dengan cara yang biasa dan sederhana.
Contoh kecilnya saja, sering kali aku bersungguh-sungguh belajar menghabiskan
malam tanpa tertidur, namun peroleh nilai ujian yang ternilai tak tinggi dan
juga tidak rendah , tepatnya hanya nilai yang standar. Dan betapa pilu, saat
melihat kawan yang tiada belajar sebagai mana upaya kita, tiada sekeras
kesungguhannya bahkan sekedar sekilas membaca tapi peroleh nilai yang berjarak
banyak dari nilai yang kita peroleh, lebih tinggi beberapa tingkat dan nyaris
mendekati sempurna. Dan itu mengundang protes membatin ? kenapa ? ah...aku
hanya dapat menyejukkan hati dengan mengingat kalimat ini “ bahwa Allah tiada
menilai hasil, tapi sebuah proses” kemudian, aku temukan penyempurna jawabn
dari tanyaku itu, A. Fuadi mengatakan bahwa dalam jalan menuju keberhasilan
tiada cukup bermodal kesungguhan karena antara kesungguhan dengan keberhasilan
tercipta sebuah jarak rahasia yang kita tak pernah tau sedekat atau sejauh apa
jarak itu. Dan ternyata jarak itulah yang kadang membuat kita letih berupaya,
sebelum menginjak finish keberhasilan, padahal sedetik lagi sampai. Mungkin,
inilah letak keindahan sebuah rahasia yang menuntut kita tuk terus istiqamah
memelihara semangat dalam menempuh jalan yang kita tuju tak peduli seberapa lama sampai
kesana, karena yang perlu dihujamkan dalam benak adalah “yakin kita kan sampai” serupa dengan
mahfudzat yang sering kita dengar “man sara’ala ad-darbi washala ( siapa yang
berjalan pada jalanya, dia akan sampai)” dan yang terpenting selalu
bersahabatlah dengan prasangka baik
bahwa tawakal itu yah harus optimis ! tak ragu-ragu ! pun juga isilah setoples
impian yang kita punya itu dengan warna warni kesabaran, bagaikan permen
kehidupan yang manis, asem, asin. Enak rasanya ! (nano nano kali, jangan
promosi deh -_-) :D.
Mengingat muara kehidupan ini
selalu menuju kematian bahwa tak selamanya udara yang berlimpah ini tak dapat
kita hirup lagi, bukan karena udara telah habis. Tapi, karena usia kitalah yang
mengatakan “ cukup sampai disini” kita pasti sudah tau betul bahwa akan ada
masanya kita merasa kaku, hilang daya gerak, setiap fungsi organ terhenti dan
mata mulai terpejam selamanya dan rumah baru menyambut dengan pintu yang
menengadah ke atas langit, lalu ditutup kembali oleh tanah. Rumah terakhir,
yang pekat dengan kegelapan tak ada jendela apalagi pintu hingga cahaya pun tak
dapat menyelinap masuk. Semuanya “tentang kematian”
Lalu, mulai terfikir disaat kita
tak ada lagi di dunia ini sedangkan masih banyak jutaan pasang mata yang masih
hidup karena dunia tak lantas game over disaat kita tiada. Apakah yang kita
titipkan tuk mereka saudara kita yang masih punyai nafas hidup ? sedangkan
titipan harta lambat laun akan habis tergunakan, benda pun akan rusak tak
selamanya utuh dan baik, lalu apa ? ada...ada...yang berumur panjang saat umur
kita dipanggil tuk diperpanjang di akhirat. Adalah “tulisan” yang berumur
panjang didunia bahkan bisa selalu ada selama dunia masih ada. Terlebih lagi
jika tulisan itu mengemas ilmu-ilmu yang bermanfaat, betapa istimewa. Akan ada
transfer pahala yang tiada terputus dariNya karena tergolong ke dalam amalan
jariah.
Begitupun selama masih hidup “the
power of writting” selalu mempesona, ia tak sekedar tulisan dengan deretan
kata-kata di atas kertas putih saja. tapi jauh dari itu semua bahwa dengan
tulisan semua hal bisa terjadi A. Fuadi bilang “ tulisan itu bisa jadi apa
saja, saya pribadi telah merasakannya. Dimana dengan tulisan bisa menjadi uang,
bisa menjadi tiket pesawat gratis, bisa menjadi beasiswa luar negeri dll
yah...hanya dengan tulisan juga bisa membuat banyak orang sedemikian sibuk dan
pusing “ tuturnya sambil menampilkan cuplikan pada saat proses pembuatan film “
Negeri Lima Menara”. Iya...iya juga kataku dalam hati. Lalu kumulai bergumam
“tentang tulisan” sebenarnya akupun punya tulisan, tapi masih mengintip malu di
semak-semak ilmuNya.
Berlanjut, A. Fuadi juga
mengatakan tulisan itu umpama sebuah peluru yang ditujukan paada kepala orang
lain, bayangkan jika ada sebuah peluru yang ditujukan pada kepala orang lain.
apa yang terjadi? Ya, tepat sekali 1 orang tersebut akan terluka tau bahkan
mati. Begitupula dengan kerja sebuah tulisan hampir serupa umpama peluru yang
melesat pada kepala orang namun bedanya,
tak hanya berhenti pada satu kepala saja namun jutaan kepala bahkan sampai
level tak hingga dan juga tak lantas membuat luka bahkan kematian tapi
menghujamkan ilmu dan kefahaman. Subhanallah...betapa berlimpah berpahala
menjadi seorang penulis :)
Pada sesi tanya jawab ku masih
mengingat jawaban itu dari penuturan A. Fuadi yang mengatakan bahwa menulis
sebuah novel umpama mengandung yang berkali-kali, kita tau batas ibu mengandung
itu 9 bulan bisa lebih atau kurang, lalu
bisa terlahir. tapi, sebuah novel tidak begitu, kita akan terus menerus menulis
jika kita tidak segera memutuskan novel tersebut untuk terlahir. Jadi, betapa
pentingnya sebuah deadline yang kita taruh dalam menulis, hal itu agar kita tak
berleha-leha tak juga mendayu-dayu lama dalam cerita karena kita telah tau
kapan novel tersebut harus terlahir. Keep going aja dalam menulis, selembar
dalam sehari umpamanya. jika dalam setahun kita istiqamah tuk terus menulis
sudah ada 365 lembar tulisan yang kita buat, wah...betapa sudah layak dijadikan
buku hanya butuh pengeditan kemudian terbit. Betapa benar pepatah lama itu yang
mengatakan “sedikit demi sedikit lama-lama menjadi buku” (bukan hanya menjadi
bukit lagi, hehe semua itu karena tulisan).
Hmmm...ini motivasi ku menyambut
bulan juni, aku berjanji kan istiqamah menulis meski masih terbata-bata
merangkai kata, meski hanya menghadirkan kericuhan kalimat, tapi...penuh harap
seiring perjalanan jemari ini yang singgah dari kata yang satu kepada kata yang
lainnya, akan membuatku lebih mengerti cara menyuguhkan ilmuNya dengan indah.
Aamiin... selalu terniat impian itu menghampiri kenyataan, lekas dan segera
karena-Nya dan selalu karena-Nya... :)
Coretan Suci, di kolong langit Ciputat 30 mei 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar