Berhina padaNya sebagai kemuliaan
Berfaqir padaNya sebagai kekayaan
Tunduk padaNya sebagai keluhuran
Dan bersandar padaNya sebagai kecukupan..
Lelaki itu pergi dengan marah.
Mari kita fahami betapa berat tugas
dakwahnya di Ninawa, betapa telah habis sabarnya atas pembangkangan
kaumnya. Malam dan siang, pagi dan petang; diajaknya mereka meninggalkan
berhala-berhala tak bernyawa dan perbuatan-perbuatan tak bermakna.
Didekatinya mereka satu-satu maupun dalam kumpulan, ketika sepi maupun
di keramaian.
Tetapi hanya cemooh dan tertawaan,
umpatan dan makian, serta penolakan dan pengusiran yang dia dapat. Maka
dia, Yunus ibn Mata namanya, pergi dengan marah. Dia tinggalkan
negerinya sembari mengancamkan ‘adzab Allah yang sebagaimana terjadi
pada kaum-kaum sebelumnya, pasti turun pada kaum pendurhaka. Bukankah
demikian nasib kaum Nuh, ‘Aad, Tsamud, dan penduduk negerinya Luth?
Tapi dia pergi karena ketaksabarannya,
ketakteguhannya, dan ketaktelatenanannya. Dia pergi sebelum ada perintah
Allah untuk menghentikan seruannya. Dia menyerah sebelum tiba waktunya.
Maka sebagai hamba yang disayangiNya, Allah akan mendidiknya untuk
sabar dengan cara lain, jika dia tak sabar dalam tugas dakwahnya. Cara
itu adalah musibah.
Kita tahu ringkasnya, Yunus yang
menumpang sebuah kapal akhirnya dibuang ke samudra setelah 3 kali muncul
namanya dalam undian. Kapal itu dalam badai yang bergulung mengerikan,
maka ada yang berkeyakinan seseorang harus dipersembahkan pada penguasa
lautan. Lagipula, ia terasa kelebihan muatan. Awalnya, sang nakhoda tak
tega. Yunus tampak sebagai orang baik. Tapi namanya muncul tiga kali,
seakan memang hanya dialah yang dikehendaki.
Ketetapan Allah berlaku baginya. Seekor
ikan membuka mulut menyambut tubuhnya yang terjun ke air. Bahkan,
menurut sebagian mufassir, ikan yang menelannya dilahap ikan yang lebih
besar, lalu dengan perut berisi ia menuju ke dasar lautan. Maka jadilah
Yunus berada dalam gelap, dalam gelap, dalam gelap. Kelam
berlapis-lapis.
***
Di antara hikmah yang selalu melekat
pada setiap musibah adalah pertanyaan, “Apa kesalahanku sehingga cobaan
ini menimpa?” Selanjutnya, memang kepekaan hatilah yang menentukan jawab
dan tindakan yang akan diambil. Maka berbahagialah yang segera
merundukkan diri di hadapan keagungan Allah, serta berlirih-lirih
mengadukan kelemahan, kesilapan, dan kehinaan.
“Allah menciptakan manusia”, demikian Dr. ‘Abdul Karim Zaidan dalam Al Mustafaad min Qashashil Quran,
“Dengan menggariskan baginya bahwa berbuat keliru dan jatuh dalam
kesalahan adalah perkara yang mungkin, bahkan niscaya.” Tapi dengan
kasihNya, Allah juga membukakan pintu agar dosa-dosa menjadi jalan
kembali dan pelarian suci, tempat bersimpuh dan sandaran berteduh,
mahligai yang syahdu bagi bermesra, meminta, dan beroleh karunia.
Maka demikianlah Yunus, ‘Alaihis Salam.
Di perut ikan Nun, dalam gelap yang mencekik hingga ke hati, dia
menangisi kelemahannya, menekuri hari-harinya, dan mengaku telah berbuat
aniaya.
“La ilaha illa Anta, subhanaKa, inni kuntu minazh zhalimin. Tiada Ilah sesembahan haq selain Engkau. Maha Suci Engkau; sungguh aku termasuk orang yang berbuat aniaya.” (QS Al Anbiya’ [21]: 87)
Doa Yunus, betapa sederhana. Tapi indah
dan mesra. Akrab dan hormat. Takzim dan syahdu. Demikianlah pada pinta
para Nabi di dalam Al Quran, kita menemukan lafazh doa, ruh tauhid,
sekaligus keindahan adab. Hari ini, ketika kita disuguhi fahaman antah
berantah bahwa doa harus dirinci-rinci, dibayang-bayangkan, dan
dijerih-jerihkan; seakan dengan demikian ia lebih cepat dikabulkan, mari
berkaca pada doa Yunus.
Tak ada di sana pinta untuk
mengeluarkannya dari perut ikan, apalagi desakan agar segera. Tak ada di
sana rajuk-rajuk manja, hiba-hiba memelas, apalagi kalimat perintah
yang pongah. “Doa Dzun Nun, ‘Alaihis Salam”, demikian menurut ibn
Taimiyah, “Adalah di antara seagung-agung doa di dalam Al Quran.” Doa
itu mengandung 2 hal saja, merunduk-runduk mengakui keagungan Allah, dan
berlirih-lirih mengadukan kelemahan diri.
“Berdoalah menyeru Rabbmu dengan
tadharru’ (merendahkan diri) dan khufyah (memelankan suara).
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS Al A’raaf [7]: 55)
Maka doa Yunus, yang tidak rinci, yang
tidak dibayang-bayangkan, bahkan tak tergambar apa yang dipintanya,
dijawab Allah dengan limpahan karunia yang membawa kejayaan. Dia hanya
mengakui ketakberdayaan dan laku aniayanya pada diri sendiri; maka Allah
yang Maha Kuat, Maha Gagah, Maha Perkasa, mengulurkan pertolonganNya,
pembelaanNya, dan bantuanNya.
Yunus bukan hanya dikeluarkan dari perut ikan. Dia bahkan tak perlu payah berenang, karena diantar oleh sang ikan
sampai tepian. Dan tempatnya didamparkan bukanlah sembarang daratan.
Imam Ibnu Katsir mengetengahkan riwayat dalam tafsirnya dari Ka’b Al
Ahbar dan Ibn ‘Abbas, bahwa Yunus dibaringkan di hamparan tanah yang
kemudian ditumbuhi suatu tanaman dari jenis labu.
“Kemudian Kami lemparkan Yunus ke
daratan kering, sedang dia dalam keadaan sakit. Kemudian untuknya Kami
tumbuhkan pohon dari jenis yaqthin.” (QS Ash Shaaffaat [37]: 145-146)
Selazimnya seseorang yang terkurung
dalam gelap di kedalaman laut selama waktu yang panjang, maka Yunuspun
sakit. “Keadaan beliau seumpama burung yang kehilangan seluruh bulunya”,
ujar Ibn Mas’ud menafsir. Adapun menurut Ibn ‘Abbas, “Beliau bagaikan
bayi yang baru dilahirkan; ringkih, tak terlindung, rumih, dan rentan.”
“Pohon yaqthin”, demikian masih menurut Ibn ‘Abbas, “Adalah qar’u, dari jenis labu yang tak disukai lalat dan serangga sehingga dia menaungi Yunus hingga terjaga.”
Ketika Yunus siuman, secara naluriah dia
menggapai buah yang ada di dekatnya kemudian memakannya. Buah tanaman
itu, yang mengandung air, gizi, dan zat-zat bermanfaat, amat mudah
dicerna oleh tubuhnya. Khasiatnya menjalari seluruh pembuluh dan sendi,
merasuki semua sumsum dan pori, memulihkan tenaga dan kesentausannya.
Sakit, payah, dan terganggunya faal badan akibat berpuluh hari di dalam
perut ikan dan di dasar lautan, kini pulih sehat dan bertambah afiat.
Nabi Yunuspun bugar kembali,
bersemangat, dan berjanji pada Allah untuk nanti teguh, istiqamah, dan
tak menyerah dalam berdakwah kepada kaumnya; apapun yang akan terjadi di
hadapannya. Tetapi alangkah takjub penuh syukurnya dia. Sebab ketika
kembali ke Ninawa, seluruh kaumnya justru telah beriman pada Allah.
Jumlah mereka, lebih dari 100.000 orang kiranya.
Betapa berkah doa Yunus. Bukan hanya
menjadi karunia keselamatan dirinya, doa itu bahkan menjadi anugrah
hidayah bagi begitu banyak manusia dari kaumnya. Dakwah Yunus berjaya,
tepat pada saat dia merasa dan mengaku bahwa dirinya berdosa di hadapan
Allah Yang Maha Kuasa. Dakwah Yunus berjaya, ketika dia mengakui dirinya
aniaya dan hatinya tunduk memuliakan Allah ‘Azza wa Jalla. Dakwah Yunus berjaya, ketika dia merasa tak berdaya.
Di lapis-lapis keberkahan, berjayalah
hamba yang merasa tak berdaya tanpaNya. Maka Maha Suci Dzat yang
menjadikan berhina padaNya sebagai kemuliaan, berfaqir kepadaNya sebagai
kekayaan, tunduk padaNya sebagai keluhuran, dan bersandar padaNya
sebagai kecukupan.
***
Kita menjawab panggilan adzan, ketika
kita diseru untuk shalat dan dipanggil menuju kejayaan bukan dengan
kepercayaan diri menggebu-gebu, bukan juga dengan keyakinan jiwa
menderu-deru, bukan pula dengan rasa pasti mampu yang berseru-seru.
“Hayya ‘alash shalaah.. Marilah shalat!”, ajak Muadzin. Jawab kita bukan, “Siap! Bisa! Pasti bisa! Luar Biasa!” “Hayya ‘alal falaah! Mari menuju keberhasilan, kemenangan, dan kejayaan!”, sambung muadzin. Dan jawab kita bukan pula, “Saya! Saya! Saya! Yeaaa!”
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
setaqwa-taqwa manusia, setaat-taat hamba, dan sekuat-kuat pengabdi
Rabbnya mengajarkan sebuah jawaban yang apa adanya tentang betapa
lemahnya kita. Ungkapan paling jujur itu adalah, “La haula wa la quwwata illa billah.
Tiada daya untuk menghindar dari keburukan dan tiada kekuatan untuk
melaksanakan ketaatan, selain dengan pertolongan Allah, Yang Maha Tinggi
lagi Maha Agung.”
Ketika kaki melangkah keluar dari rumah,
maka tuntunan doa bagi kita ada dalam hadits shahih dari Anas ibn Malik
yang terrekam dalam Sunan Abu Dawud (595) dan Sunan At Tirmidzi (3487).
Bahwasanya Rasulullah bersabda,
“Jika seorang di antara kalian keluar dari rumahnya lalu mengucapkan: ‘Bismillahi Tawakkaltu ‘Alallahi La Haula Wa La Quwwata Illa Billah..
Dengan nama Allah. Aku bertawakal kepada Allah. Tiada daya dan kekuatan
kecuali dengan kuasa Allah’; maka pada saat itu akan dikatakan
kepadanya, ‘Kamu telah mendapat petunjuk, telah diberi kecukupan, dan
mendapat penjagaan’, hingga syaithan-syaithan menjauh darinya. Lalu
syaithan yang lainnya berkata kepada syaithan yang ingin menggodanya;
‘Bagaimana kau akan mengoda seorang laki-laki yang telah mendapat
petunjuk, kecukupan, dan penjagaan?”
“Dengan asma Allah”, adalah ikrar iman
kita. Tak ada tempat bagi nama selainNya, bahkanpun nama kita, dalam
berangkat maupun kembali, berjalan maupun berhenti, di kala pulang
maupun pergi. Hanya namaNya yang layak diagungkan di setiap tapak dan
langkah, berjalan dan berkendara, hatta hingga jatuh dan bangunnya.
Semua dalam nama Allah, agar kita menghadapkan wajah padaNya dengan
lurus dan berserah diri.
Selanjutnya, kita menginsyafi bahwa
hanya Allah-lah sandaran terkuat, terkokoh, terhebat. Bukan diri, ilmu,
ataupun hal-hal yang kita daku sebagai milik yang menjadi tempat
bergantung. Bukan anak maupun pasangan, bukan kerabat maupun kawan,
bukan rekan ataupun atasan. “Aku bertawakkal hanya kepada Allah”, adalah
ikrar kepasrahan kita. Bahwa tiap tapak yang terayun serta tiap langkah
yang terpijak ini, Allah-lah yang mengatur, mengarahkan, dan
menepatkannya.
Dan akhirnya, “Tiada daya untuk
menghindar dari maksiat dan keburukan, serta tiada kekuatan untuk
menunaikan ketaatan dan meraih kebaikan; melainkan dengan kuasa dan
pertolongan Allah.” Inilah kealpaan kita yang mudah tergoda, maka hanya
dari Allah pembentengannya. Inilah kerawanan kita yang dalam bahaya,
maka hanya dari Allah perlindungannya. Inilah kemalasan kita yang sering
tak hendak, maka hanya dari Allah semangat dan kemampuannya. Inilah
kelembekan kita yang tak menjangkau, maka hanya dari Allah
penggapaiannya.
Demikianlah, di lapis-lapis keberkahan,
tiap helaan nafas, tiap detakan jantung, dan tiap denyutan nadi
terjalani dengan asma Allah, dengan tawakkal pada Allah, dan dengan
pengakuan bahwa tiada daya dan kekuatan kecuali dengan karunia Allah.
Sebab kita mengerti, pengakuan atas ketakberdayaan di hadapan Yang Maha
Jaya adalah sumber kekuatan yang tak pernah kering, tak pernah habis,
dan tak pernah berakhir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar