Ada ketakjuban saat mencoba mengingat-ingat kisah yang dituturkan
Guru mengaji setahun silam, ia pernah bercerita kisahnya sewaktu kecil yang
pernah punyai cita-cita yang salah namun akhirnya tersadarkan di pesantren.
Guru ngajiku bertutur sewaktu ia kecil sering kali bahkan hampir tiap malam
sang ayah dengan setia menyelipkan kisah-kisah Para Nabi mengjelang tidur.
Hingga, pada suatu malam disaat semua keluarga usai makan di ruang keluarga
sang ayah mengajukan pertanyaan yang sering orang tua tanyakan pada anaknya,
yang sering guru TK, SD, SMP tanyakan juga. Tiada lain pertanyaan itu ialah
tentang cita-cita. Dengan nada ingin tau sang ayah bertanya “ jika kelak kau
besar apa yang menjadi cita-citamu nak ???” dengan nada polos penuh semangat
yang menggebu jawab sang anak “ aku ingin jadi Nabi ayah” sang ayah sempat memasang wajah kaget namun
seketika tenang kembali sambil
mengajukan pertanyaan yang kedua “ alasanya kenapa nak, ingin jadi Nabi ?” “
ayah…dari kisah-kisah para Nabi yang sering ayah ceritakan bahwa Nabi di beri
mujizat bisa membelah lautan, mencipta ular besar hanya dengan sebuah tongkat,
menghidupkan burung yang sudah mati bahkan sampai ada yang bisa membelah bulan.
Menakjubkan sekali ayah, apalagi kalau aku bisa mencapai cita-cita aku itu pasti
keren” wajah lugunya terlihat bangga dengan pemaparan cita-citanya. Tiada tega
rasanya jika sang ayah langsung mengatakan, cita-cita seperti itu tak baik ! ,
tiada pantas berkeinginan menjadi Nabi ! atau istilah kampung sering bilang
“Pamali“. Karena Nabi Muhammad adalah penutup para Nabi tiada akan pernah
ada lagi Nabi setelahnya. Namun, dengan
penuh pertimbangan sang ayah dengan bijak mengatakan sekaligus memberi saran,
tuturnya lembut sampil membelai kepala sang anak, kemudian memangkukan ke
tubuhnya “ nak jika ingin jadi Nabi masuklah ke pesantren yah ? mau ?” sang
anak langsung melirikan pandangan pada kedua mata ayahnya penuh binar harapan “
benar ayah ?? saya mau masuk pesantren kalau disana nanti bisa jadi Nabi, kapan
ayah ?” “besok nak”
Ketika itu sang anak berumur 10 tahun, meski baru kelas 4 SD ia
tetap ingin melanjutkan ke pesantren, berharap bisa mewujudkan apa yang ia
cari…apa yang menjadi impian selama ini…hingga dengan riang dan bahagia nan
penuh semangat tuk menimba ilmu agama disana. Tekun ia jalani pembelajaranya
namun, cita-cita nya masih rahasia…masih belum berani di bagi meski pada kawan
sekamar…yang ia tahu, harus belajar dengan penuh kesungguhan dipesantren itu
hingga ketika sudah keluar, gelar Nabi
melekat dengan sendirinya.
Hingga tepatnya pada bulan maulid saat itu kyai bercerita tentang
perjalanan isra mi’raj Nabi Muhammad SAW di depan seluruh santrinya, ada firman
Allah dalam Al-Qur’an yang menjadi pembuka cerita namun bagi “ustadku ketika ia
kecil” itu merupakan kalimat yang bagai pedang
tajam menebas, membunuh pun membenamkan cita-citanya dalam kisaran detik, tak
lain ayat yang dimaksud ialah :
مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ
مِّن رِّجَالِكُمْ وَلَكِن رَّسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللَّهُ
بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا ﴿٤٠﴾
Artinya : “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki
di antara kamu., tetapi Dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. dan
adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al Ahzab : 40)
Sontak ia berlari dikawal oleh kesedihan yang tiada tara, memilih terisak sendirian di
sudut kamar mencoba tak kecewa akan suatu Firman Allah yang ia dengar, mencoba
tuk ikhlas merelakan cita-citanya harus ia lenyapkan , diganti dengan yang
lebih pantas tentunya yang tidak dilarang oleh Allah SWT. Pikirnya kala itu.
Berhari-hari setelah peristiwa itu tingkah lakunya menjadi aneh,
terlalu banyak menampilkan wajah penuh kemurungan hanya sapaan senyum saja yang
ia balas selebihnya wajahnya tak bersahabat lagi jauh berbeda dari biasanya. Bicarapun
sedikit menghilang dari bibirnnya, tak ada lagi taburan Tanya nan penuh keingintauan,
tak ada lagi antusias belajar, hingga membuat para kyai dan teman-teman di
pesantren terheran. Jikalau ditanya kenapa, ada apa ? pasti hanya disahuti oleh
gelengan kepala saja. Hingga kyai di pesantren langsung yang menanyakan ke
pihak keluarga takutnya sedang ada masalah, pihak keluarga heran karena sejauh ini tidak ada masalah
apapun yang anaknya ceritakan ketika perbincangan telepon pun biasa saja begitu
pula dengan kabar dari keluarga tak ada yang sedang bermasalah. Akhirnya , sang
ayah menceritakan perihal anaknya yang ingin menjadi Nabi dan pak kyai sadar
pernah dalam ceramahnya ia menerangkan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah Nabi
terakhir sekaigus penutup para Nabi.
Singkat cerita, sang anak di panggil menghadap pak kyai disana ada
perbincangan 4 mata yang begitu menghujamkan sebuah kesadaran yang berarti
hingga prilaku anak tersebut menjadi pulih sebagaimana biasanya. Hingga 10
tahun berlalu, tak terasa waktunya ia pulang kembali ke kampung halamannya
dengan membawa bekal ilmu agama yang segara akan diamalkan, karena ada rencana
membuat kobong (tempat mengaji santri) meski baru tahap sederhana. Ketika sampai
dirumah, keluarga begitu menyambut penuh haru kerinduan, pelukan kasih dan
usapan tangan sang ibu menghangatkan suasana hatinya. Namun. Lagi-lagi ketika
seusai makan saat santai berbincang seputar kehidupan selama di pesantren. Sang
ayah mengajukan pertanyaan yang sama, pertanyaan yang mengantarkannya ke
pesantren, pertanyaan masa depan yang sempat membekaskan kecewa dalam upaya
mencapainya, sebuah pertanyaan itu ialah “ apa cita-citamu sekarang nak ?
masihkah sama seperti dulu ?” dengan penuh senyum sang anak menjawab “ masih
ayah…” sang ayah bingung, ada kaget dan
penasaran yang berseteru hadir difikirannya, hingga menanyakan ulang “ masih
sama ?” “ yah…masih sama, namun ada revisi sedikit. Aku tidak ingin menjadi
Nabi lagi, tapi aku harus menjadi penerus Nabi” sambil menghulur tanganya
mencium lengan ayahnya dengan sedikit berbisik “ do’akan selalu ya ayah…”
Itulah kisah yang begitu berkesan bagiku, kenang-kenangan
pengalaman yang indah dari guru ngajiku dan yang buat aku salut dari sosok
ayahnya yang bijak dalam menyikapi keinginan sang anak yang terbilang tak wajar
dengan menunjukan jawaban yang utuh menyentuh kesadaran sang anak secara halus
tanpa larangan keras dengan kata “tidak boleh” tapi dengan menunjukan jawaban
melalui arahan baik “ kalau ingin jadi Nabi, masuklah ke pesantren” karena sang
ayah tau akan ia dapat kesadaran sendiri bahwa cita-citanya harus dirubah.
Sempat juga aku temui kisah yang sama, yakni sama-sama menyentuh
ranah kesadaran dalam memberikan pelajaran yang baik pada anaknya.
Kisah lain datang dari Negara India dengan sosok yang sudah begitu
mendunia namanya seorang spiritual sekaligus politikus India, Mahatma Gandhi. Suatu
waktu, sang anak diminta ayahnya untuk mengantar ke tempat rapat,yang setelahya ia diamanahi
untuk mengirimkan mobil yang dikendarainya ke bengkel terdekat untuk di
perbaiki. Sang ayah dan anaknya menyepakati
waktu bertemu pada jelang siang namun ternyata sang anak tak kunjung datang
hingga membuat sang ayah khawatir kemudian langsung menelpon bengkel mobil yang
bersangkutan. Kata pegawai bengkel tersebut, mobil sudah siap sedari siang
namun belum di ambil. Akhirnnya, sang ayah dengan sabar menunggu dan sang
anakpun datang juga. Mahatma Gandhi langsung menyambutnya dengan kalimat Tanya
“ mengapa begitu lama ???” lalu dijawab oleh anaknya “ bengkelnya memang lama
memperbaikinya hingga sesore ini baru selesai ayah…” seketika Gandhi mendengar
jawaban anaknya yang melakukan kebohongan ia pun langsung meninggalkan mobil
lalu pulang dengan berjalan kaki.
Sang anak dilingkupi rasa bersalah hingga menghiba merayu memohon
maaf, agar ayahnya mau pulang ke rumah bersamanya menaiki mobil. Tapi sang ayah
menolak sambil berkata “biarlah saya pulang dengan memapah langkah, berjalan
kaki ke rumah. Sebagai hukuman pada diri yang tidak mampu mendidik anaknya tuk
tidak melakukan kebohongan dan berkata jujur” akhirnya sang anak memelankan
laju mobil mengiringi langkahan kaki sang ayah sampai ke rumah, dan mulai saat
itu terhujam pelajaran yang amat berharga tentang kejujuran di benak anaknya.
Mari kita tengok sejenak kisah Allamah Mohammad Iqbal tentang “
sikap sang ayah yang menciptakan sebuah kesadaran pada dirinya” kisah ini datang
dari Negara Pakistan, bermula dari
peristiwa di usirnya pengemis yang yang meminta-minta di depan pintu dengan
sepenuh iba , merajuk mengemis belas kasih. namun, dicampakkan oleh Iqbal kecil
hingga membuat ayahnya begitu marah terpayungi kesedihan tiada kira sambil
berkata terisak mengucap kalimat “ apa yang aku jawab nanti jika Allah bertanya
kepadaku kelak, tentang laku yang kau perbuat mengusir orang yang sedang
memerlukan pertolongan anakku???” dimulai sejak peristiwa itu hingga waktu
hidupnya menemui akhir, Iqbal tiada pernah lagi mengusir pun juga menolak
siapapun yang datang padanya dan meminta petolongan.
Dari ketiga kisah yang saya tuliskan kembali dapat diambil
kesimpulan bahwa dengan menciptakan kesadaran itu hadir, akan lebih menghujam
utuh karena kesimpulan bahwa hal itu salah dan tak baik muncul langsung dari
dalam pemikirannya sendiri bukan dari luar, bukan sekedar nasehat kata-kata
yang hanya masuk dan keluar kuping tanpa diterapkan. Karena, kata-kata nasehat
terkadang hanya mengelilingi pemikiran diluarnnya saja hingga sifatnya tiada
permanen sering terlanggar lagi. Maka dari itu sudah saatnya “ sentuhlah
pelajaran dari ranah kesadaran” apalagi jika kita kelak dtitipi amanah anak
maka berkewajiban mendidiknya dengan baik terutama masalah adab pun akhlaknya.
Anas ra. Meriwayatkan bahwa
Rasulullah SAW. Pernah bersabda “ muliakanlah anak-anakmu dan perbaiki adab
mereka” (HR. Ibnu Majah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar