Senin, 17 Februari 2014

“ Sentuhan Pelajaran dari Ranah Kesadaran”




Ada ketakjuban saat mencoba mengingat-ingat kisah yang dituturkan Guru mengaji setahun silam, ia pernah bercerita kisahnya sewaktu kecil yang pernah punyai cita-cita yang salah namun akhirnya tersadarkan di pesantren. Guru ngajiku bertutur sewaktu ia kecil sering kali bahkan hampir tiap malam sang ayah dengan setia menyelipkan kisah-kisah Para Nabi mengjelang tidur. Hingga, pada suatu malam disaat semua keluarga usai makan di ruang keluarga sang ayah mengajukan pertanyaan yang sering orang tua tanyakan pada anaknya, yang sering guru TK, SD, SMP tanyakan juga. Tiada lain pertanyaan itu ialah tentang cita-cita. Dengan nada ingin tau sang ayah bertanya “ jika kelak kau besar apa yang menjadi cita-citamu nak ???” dengan nada polos penuh semangat yang menggebu jawab sang anak “ aku ingin jadi Nabi ayah”  sang ayah sempat memasang wajah kaget namun seketika tenang  kembali sambil mengajukan pertanyaan yang kedua “ alasanya kenapa nak, ingin jadi Nabi ?” “ ayah…dari kisah-kisah para Nabi yang sering ayah ceritakan bahwa Nabi di beri mujizat bisa membelah lautan, mencipta ular besar hanya dengan sebuah tongkat, menghidupkan burung yang sudah mati bahkan sampai ada yang bisa membelah bulan. Menakjubkan sekali ayah, apalagi kalau aku bisa mencapai cita-cita aku itu pasti keren” wajah lugunya terlihat bangga dengan pemaparan cita-citanya. Tiada tega rasanya jika sang ayah langsung mengatakan, cita-cita seperti itu tak baik ! , tiada pantas berkeinginan menjadi Nabi ! atau istilah kampung sering bilang “Pamali“. Karena Nabi Muhammad adalah penutup para Nabi tiada akan pernah ada  lagi Nabi setelahnya. Namun, dengan penuh pertimbangan sang ayah dengan bijak mengatakan sekaligus memberi saran, tuturnya lembut sampil membelai kepala sang anak, kemudian memangkukan ke tubuhnya “ nak jika ingin jadi Nabi masuklah ke pesantren yah ? mau ?” sang anak langsung melirikan pandangan pada kedua mata ayahnya penuh binar harapan “ benar ayah ?? saya mau masuk pesantren kalau disana nanti bisa jadi Nabi, kapan ayah ?” “besok nak”
Ketika itu sang anak berumur 10 tahun, meski baru kelas 4 SD ia tetap ingin melanjutkan ke pesantren, berharap bisa mewujudkan apa yang ia cari…apa yang menjadi impian selama ini…hingga dengan riang dan bahagia nan penuh semangat tuk menimba ilmu agama disana. Tekun ia jalani pembelajaranya namun, cita-cita nya masih rahasia…masih belum berani di bagi meski pada kawan sekamar…yang ia tahu, harus belajar dengan penuh kesungguhan dipesantren itu hingga ketika sudah keluar,  gelar Nabi melekat dengan sendirinya.
Hingga tepatnya pada bulan maulid saat itu kyai bercerita tentang perjalanan isra mi’raj Nabi Muhammad SAW di depan seluruh santrinya, ada firman Allah dalam Al-Qur’an yang menjadi pembuka cerita namun bagi “ustadku ketika ia kecil”  itu merupakan kalimat yang bagai pedang tajam menebas, membunuh pun membenamkan cita-citanya dalam kisaran detik, tak lain ayat yang dimaksud ialah :

مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِّن رِّجَالِكُمْ وَلَكِن رَّسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا ﴿٤٠﴾
Artinya : “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu., tetapi Dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al Ahzab : 40)

Sontak ia berlari dikawal oleh kesedihan yang  tiada tara, memilih terisak sendirian di sudut kamar mencoba tak kecewa akan suatu Firman Allah yang ia dengar, mencoba tuk ikhlas merelakan cita-citanya harus ia lenyapkan , diganti dengan yang lebih pantas tentunya yang tidak dilarang oleh Allah SWT. Pikirnya kala itu.

Berhari-hari setelah peristiwa itu tingkah lakunya menjadi aneh, terlalu banyak menampilkan wajah penuh kemurungan hanya sapaan senyum saja yang ia balas selebihnya wajahnya tak bersahabat lagi jauh berbeda dari biasanya. Bicarapun sedikit menghilang dari bibirnnya, tak ada lagi taburan Tanya nan penuh keingintauan, tak ada lagi antusias belajar, hingga membuat para kyai dan teman-teman di pesantren terheran. Jikalau ditanya kenapa, ada apa ? pasti hanya disahuti oleh gelengan kepala saja. Hingga kyai di pesantren langsung yang menanyakan ke pihak keluarga takutnya sedang ada masalah, pihak keluarga  heran karena sejauh ini tidak ada masalah apapun yang anaknya ceritakan ketika perbincangan telepon pun biasa saja begitu pula dengan kabar dari keluarga tak ada yang sedang bermasalah. Akhirnya , sang ayah menceritakan perihal anaknya yang ingin menjadi Nabi dan pak kyai sadar pernah dalam ceramahnya ia menerangkan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah Nabi terakhir sekaigus penutup para Nabi.

Singkat cerita, sang anak di panggil menghadap pak kyai disana ada perbincangan 4 mata yang begitu menghujamkan sebuah kesadaran yang berarti hingga prilaku anak tersebut menjadi pulih sebagaimana biasanya. Hingga 10 tahun berlalu, tak terasa waktunya ia pulang kembali ke kampung halamannya dengan membawa bekal ilmu agama yang segara akan diamalkan, karena ada rencana membuat kobong (tempat mengaji santri) meski baru tahap sederhana. Ketika sampai dirumah, keluarga begitu menyambut penuh haru kerinduan, pelukan kasih dan usapan tangan sang ibu menghangatkan suasana hatinya. Namun. Lagi-lagi ketika seusai makan saat santai berbincang seputar kehidupan selama di pesantren. Sang ayah mengajukan pertanyaan yang sama, pertanyaan yang mengantarkannya ke pesantren, pertanyaan masa depan yang sempat membekaskan kecewa dalam upaya mencapainya, sebuah pertanyaan itu ialah “ apa cita-citamu sekarang nak ? masihkah sama seperti dulu ?” dengan penuh senyum sang anak menjawab “ masih ayah…” sang ayah  bingung, ada kaget dan penasaran yang berseteru hadir difikirannya, hingga menanyakan ulang “ masih sama ?” “ yah…masih sama, namun ada revisi sedikit. Aku tidak ingin menjadi Nabi lagi, tapi aku harus menjadi penerus Nabi” sambil menghulur tanganya mencium lengan ayahnya dengan sedikit berbisik “ do’akan selalu ya ayah…”
Itulah kisah yang begitu berkesan bagiku, kenang-kenangan pengalaman yang indah dari guru ngajiku dan yang buat aku salut dari sosok ayahnya yang bijak dalam menyikapi keinginan sang anak yang terbilang tak wajar dengan menunjukan jawaban yang utuh menyentuh kesadaran sang anak secara halus tanpa larangan keras dengan kata “tidak boleh” tapi dengan menunjukan jawaban melalui arahan baik “ kalau ingin jadi Nabi, masuklah ke pesantren” karena sang ayah tau akan ia dapat kesadaran sendiri bahwa cita-citanya harus dirubah.
Sempat juga aku temui kisah yang sama, yakni sama-sama menyentuh ranah kesadaran dalam memberikan pelajaran yang baik pada anaknya.
Kisah lain datang dari Negara India dengan sosok yang sudah begitu mendunia namanya seorang spiritual sekaligus politikus India, Mahatma Gandhi. Suatu waktu, sang anak diminta ayahnya untuk mengantar  ke tempat rapat,yang setelahya ia diamanahi untuk mengirimkan mobil yang dikendarainya ke bengkel terdekat untuk di perbaiki.  Sang ayah dan anaknya menyepakati waktu bertemu pada jelang siang namun ternyata sang anak tak kunjung datang hingga membuat sang ayah khawatir kemudian langsung menelpon bengkel mobil yang bersangkutan. Kata pegawai bengkel tersebut, mobil sudah siap sedari siang namun belum di ambil. Akhirnnya, sang ayah dengan sabar menunggu dan sang anakpun datang juga. Mahatma Gandhi langsung menyambutnya dengan kalimat Tanya “ mengapa begitu lama ???” lalu dijawab oleh anaknya “ bengkelnya memang lama memperbaikinya hingga sesore ini baru selesai ayah…” seketika Gandhi mendengar jawaban anaknya yang melakukan kebohongan ia pun langsung meninggalkan mobil lalu pulang dengan berjalan kaki.
Sang anak dilingkupi rasa bersalah hingga menghiba merayu memohon maaf, agar ayahnya mau pulang ke rumah bersamanya menaiki mobil. Tapi sang ayah menolak sambil berkata “biarlah saya pulang dengan memapah langkah, berjalan kaki ke rumah. Sebagai hukuman pada diri yang tidak mampu mendidik anaknya tuk tidak melakukan kebohongan dan berkata jujur” akhirnya sang anak memelankan laju mobil mengiringi langkahan kaki sang ayah sampai ke rumah, dan mulai saat itu terhujam pelajaran yang amat berharga tentang kejujuran di benak anaknya.
Mari kita tengok sejenak kisah Allamah Mohammad Iqbal tentang “ sikap sang ayah yang menciptakan sebuah kesadaran pada dirinya” kisah ini datang dari Negara Pakistan,  bermula dari peristiwa di usirnya pengemis yang yang meminta-minta di depan pintu dengan sepenuh iba , merajuk mengemis belas kasih. namun, dicampakkan oleh Iqbal kecil hingga membuat ayahnya begitu marah terpayungi kesedihan tiada kira sambil berkata terisak mengucap kalimat “ apa yang aku jawab nanti jika Allah bertanya kepadaku kelak, tentang laku yang kau perbuat mengusir orang yang sedang memerlukan pertolongan anakku???” dimulai sejak peristiwa itu hingga waktu hidupnya menemui akhir, Iqbal tiada pernah lagi mengusir pun juga menolak siapapun yang datang padanya dan meminta petolongan.
Dari ketiga kisah yang saya tuliskan kembali dapat diambil kesimpulan bahwa dengan menciptakan kesadaran itu hadir, akan lebih menghujam utuh karena kesimpulan bahwa hal itu salah dan tak baik muncul langsung dari dalam pemikirannya sendiri bukan dari luar, bukan sekedar nasehat kata-kata yang hanya masuk dan keluar kuping tanpa diterapkan. Karena, kata-kata nasehat terkadang hanya mengelilingi pemikiran diluarnnya saja hingga sifatnya tiada permanen sering terlanggar lagi. Maka dari itu sudah saatnya “ sentuhlah pelajaran dari ranah kesadaran” apalagi jika kita kelak dtitipi amanah anak maka berkewajiban mendidiknya dengan baik terutama masalah adab pun akhlaknya. 

Anas ra.  Meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW. Pernah bersabda “ muliakanlah anak-anakmu dan perbaiki adab mereka” (HR. Ibnu Majah)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar