Minggu, 17 Agustus 2014

Seorang Ayah, di Lapis Berkah oleh Salim A. Fillah dalam Rajutan Makna. 11/07/2014

Di lapis-lapis keberkahan, mari sejenak belajar dari seorang ayah, budak penggembala kambing yang bertubuh kurus, berkulit hitam, berhidung pesek, dan berkaki kecil. Tetapi manusia menggelar hamparan mereka baginya, membuka pintu mereka selebar-lebarnya, dan berdesak-desak demi menyimak kata-kata hikmahnya. Dia, Luqman ibn ‘Anqa’ ibn Sadun, yang digelari Al Hakim.
Seseorang pernah bertanya kepadanya, “Apa yang telah membuatmu mencapai kedudukan serupa ini?”
“Aku tahan pandanganku”, jawab Luqman, “Aku jaga lisanku, aku perhatikan makananku, aku pelihara kemaluanku, aku berkata jujur, aku menunaikan janji, aku hormati tamu, aku pedulikan tetanggaku, dan aku tinggalkan segala yang tak bermanfaat bagiku.”
“Dia tak diberikan anugrah berupa nasab, kehormatan, harta, atau jabatan”, ujar Abud Darda’ Radhiyallahu ‘Anhu ketika menceritakan Luqman Al Hakim. “Akan tetapi dia adalah seorang yang tangguh, pendiam, pemikir, dan berpandangan mendalam. Dia tidak pernah terlihat oleh orang lain dalam keadaan tidur siang, meludah, berdahak, kencing, berak, menganggur, maupun tertawa seenaknya. Dia tak pernah mengulang kata-katanya, kecuali ucapan hikmah yang diminta penyebutannya kembali oleh orang lain.”
“Dan Kami telah mengaruniakan hikmah kepada Luqman, bahwasanya hendaklah engkau bersyukur kepada Allah. Dan barangsiapa bersyukur, maka hanyasanya dia bersyukur bagi dirinya. Dan barangsiapa mengkufuri nikmat, sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuja.” (QS Luqman [31]: 12)
“Hikmah”, tulis Imam Ibn Katsir dalam Tafsirnya, “Yakni pengetahuan, pemahaman, dan daya untuk mengambil pelajaran.” Inilah yang menjadikan Luqman berlimpah kebijaksanaan dalam kata maupun laku. Tetapi setinggi-tinggi hikmah itu adalah kemampuan Luqman untuk bersyukur dan kepandaiannya untuk mengungkapkan terimakasih.
“Kemampuan untuk mensyukuri suatu nikmat”, ujar ‘Umar ibn ‘Abdil ‘Aziz, “Adalah nikmat yang jauh lebih besar daripada nikmat yang disyukuri itu.” Dan pada Luqman, Allah mengaruniakannya hingga dia memahami hakikat kesyukuran secara mendalam. Bersyukur kepada Allah berarti mengambil maslahat, manfaat, dan tambahan nikmat yang berlipat-lipat bagi diri kita sendiri. Bersyukur kepada Allah seperti menuangkan air pada bejana yang penuh, lalu dari wadah itu tumpah ruah bagi kita minuman yang lebih lembut dari susu, lebih manis dari madu, lebih sejuk dari salju.
Adapun bagi yang mengkufuri Allah, adalah Dia Maha Kaya, tidak berhajat sama sekali pada para hambaNya, tidak memerlukan sama sekali ungkapan syukur mereka, dan tidak membutuhkan sama sekali balasan dari mereka. Lagi pula Dia Maha Terpuji, yang pujian padaNya dari makhluq tidaklah menambah pada kemahasempurnaanNya, yang kedurhakaan dari segenap ciptaanNya tidaklah mengurangi keagunganNya.
Maka Luqman adalah ahli syukur yang sempurna syukurnya kepada Allah. Dia mengakui segala nikmat Allah yang dianugrahkan padanya dan memujiNya atas karunia-karunia itu. Dia juga mempergunakan segala nikmat itu di jalan yang diridhai Allah. Dan dia pula berbagi atas nikmat itu kepada sesama sehingga menjadikannya kemanfaatan yang luas.
“Seseorang yang tidak pandai mensyukuri manusia”, demikian Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda dalam hadits riwayat Imam At Tirmidzi, “Sungguh dia belum bersyukur kepada Allah.” Maka asas di dalam mendidik dan mewariskan nilai kebaikan kepada anak-anak sebakda bersyukur kepada Allah sebagai pemberi karunia adalah bersyukur kepada sang karunia, yakni diri para bocah yang manis itu.
Di lapis-lapis keberkahan, rasa syukur yang diungkapkan kepada anak-anak kita adalah bagian dari bersusun-susun rasa surga dalam serumah keluarga.
“Nak, sungguh kami benar-benar beruntung ketika Allah mengaruniakan engkau sebagai buah hati, penyejuk mata, dan pewaris bagi kami. Nak, betapa kami sangat berbahagia, sebab engkaulah karunia Allah yang akan menyempurnakan pengabdian kami sebagai hambaNya dengan mendidikmu. Nak, bukan buatan kami amat bersyukur, sebab doa-doamulah yang nanti akan menyelamatkan kami dan memuliakan di dalam surga.”
Inilah Rasulullah yang mencontohkan pada kita ungkapan syukur itu bukan hanya dalam kata-kata, melainkan juga perbuatan mesra. “Ya Rasulallah, apakah kau mencium anak-anak kecil itu dan bercanda bersama mereka?”, tanya Al Aqra’ ibn Habis, pemuka Bani Tamim ketika menghadap beliau yang sedang direriung oleh cucu-cucu Baginda.
“Mereka adalah wewangian surga, yang Allah karuniakan pada kita di dunia”, jawab beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sembari tersenyum.
“Adalah aku”, sahut Al Aqra’ ibn Habis, “Memiliki sepuluh anak. Dan tak satupun di antara mereka pernah kucium.”
“Apa dayaku jika Allah telah mencabut rahmatNya dari hatimu? Barangsiapa yang tidak menyayangi, dia tidak akan disayangi.”
“Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya dan dia sedang memberi pengajaran kepadanya, ‘Duhai anakku tersayang, janganlah engkau mempersekutukan Allah. Sesungguhnya kesyirikan adalah kezhaliman yang besar.” (QS Luqman [31]: 13)
Dengarlah Luqman memanggil putranya, Tsaran ibn Luqman dengan sapaan penuh cinta, “Ya Bunayya.. Anakku tersayang.” Alangkah besar hal yang akan dia ajarkan. Betapa agung nilai yang akan dia wariskan. Yakni tauhid. Bahwa Allah adalah Rabb, Dzat  yang telah mencipta, mengaruniakan rizqi, memelihara, memiliki, dan mengatur segala urusannya. Maka mempersekutukan Dia; dalam ibadah, pengabdian, dan ketaatan adalah sebuah kezhaliman yang besar.
Kenalkanlah Allah pada anak-anak kita sejak seawal-awalnya, dengan cara yang paling pantas bagi keagungan dan kemuliaanNya. Kenalkanlah Allah pada anak-anak kita dari semula-mulanya, dengan kalimat yang paling layak bagi kesucian dan keluhuranNya. Kenalkanlah Allah pada anak-anak kita mulai sepangkal-pangkalnya, dengan ungkapan dan permisalan yang paling sesuai bagi kesempurnaan dan kebesaranNya.
Sebab janji kehambaan seorang makhluq telah diikrarkan sejak di alam ruh, maka membisikkan tauhid ke dalam kandungan, melirihkannya pada telinga sang bayi dalam buaian, atau menyenandungkannya sebagai pengajaran adalah baik adanya.
“Dan Kami wasiatkan kepada manusia kebaikan terhadap kedua orangtuanya; ibunya yang telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun, ‘Bersyukurlah kepadaKu dan kepada kedua orangtuamu. KepadaKulah tempat kembalimu.”(QS Luqman [31]: 14)
Maha Mulia-lah Dzat yang dalam pembicaraan tentang keesaanNya dari pengajaran seorang ayah kepada putra, Dia meminta perhatian sejenak tentang hak kedua orangtua. Maha Agung-lah Dzat yang dalam penuturan tentang ketauhidanNya dari wasiat seorang bapak kepada anak, Dia mengingatkan kita tentang kebaikan yang wajib kita tanggung terhadap sosok yang telah mengandung, melahirkan, mendidik, dan menumbuhkan kita.
Sesungguhnya lisan perbuatan jauh lebih fasih daripada lisan perucapan. Maka apa yang dilihat oleh anak-anak kita akan terrekam lebih kokoh di dalam benak dan jiwa mereka dibanding semua kata-kata yang coba kita ajarkan padanya. Maka siapapun yang merindukan anak berbakti bakda ketaatannya kepada Allah, bagaimana dia memperlakukan kedua orangtua adalah cermin bagaimana kelak putra-putrinya berkhidmat kala usia telah menua.
Allah menyatukan antara kesyukuran padaNya dengan kesyukuran pada orangtua, sebab melalui ayah dan ibulah Dia mencipta kita, memelihara, mengaruniakan rizqi, serta mengatur urusan. Ayah dan ibu adalah sarana terjadinya kita, terjaganya, tercukupi keperluannya, serta tertata keadaannya. Maka Allah menganugerahkan kehormatan kepada mereka dengan doa yang indah, “Rabbighfirli wa li walidayya warhamhuma kama rabbayani shaghira.
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tiada pengetahuan bagimu terhadapnya, maka janganlah kau taati keduanya. Dan persahabatilah mereka berdua di dunia dengan baik. Dan ikutilah jalan orang yang kembali bertaubat kepadaKu, kemudian hanya kepadaKulah tempat pulang kalian, maka akan Kuberitakan pada kalian apa-apa yang telah kalian kerjakan.” (QS Luqman [31]: 15)
Allah memberikan batas yang jelas tentang bakti kepada orangtua, yakni lagi-lagi tauhid itu sendiri. Tidak ada ketaatan kepada makhluq, siapapun dia, semulia apapun dia, dalam rangka bermaksiat kepada Al Khaliq. Tapi berbedanya keyakinan orangtua yang masih musyrik dengan kita yang mengesakan Allah sama sekali tak menggugurkan perlakuan yang patut dan sikap bakti yang terpuji terhadap mereka.
Jalan untuk menjadi orangtua yang mampu mendidik anaknya juga hendaknya mengikuti jalan orang-orang yang bertaubat nashuha. Sebab tak ada yang suci dari dosa selain Sang Nabi, maka sebaik-baik insan adalah yang menyesali salah, memohon ampun atasnya, memohon maaf kepada sesama, serta berbenah memperbaiki diri. Pun demikian terhadap anak-anak kita.
Banyakkan istighfar atas ucapan dan perlakuan kepada putra-putri kita. Jangan malu mengakui kekhilafan dan meminta maaf kepada mereka. Teruslah memperbaiki diri dengan ilmu dan pemahaman utuh bagaimana seharusnya menjadi seorang Ayah dan Ibu yang amanah. Sebab kelak, ketika seluruh ‘amal kita kembali tertampak, Allah pasti menanyakan segenap nikmat yang telah kita kecap, dan meminta pertanggungjawaban atas segala perbuatan. Pada hari itu, seorang anak yang tak dipenuhi hak-haknya oleh orangtua untuk mendapatkan ibunda yang baik, lingkungan yang baik, nama yang baik, serta pengajaran adab yang baik; berwenang untuk menggugat mereka.
“Duhai anakku tersayang, sungguh seandainya ada sesuatu yang seberat timbangan biji sawi tersembunyi di dalam sebuah batu, atau di lapis-lapis langit, atau di petala bumi; niscaya Allah akan mendatangkan balasannya. Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Tahu.” (QS Luqman [31]: 16)
Luqman melanjutkan pengajarannya dengan menjelaskan hakikat ‘amal baik dan buruk serta dasar dorongan beramal yang sejati. Ini dilakukannya sebelum memberi perintah tentang ‘amal shalih di kalimat berikutnya. Sungguh, menanamkan pada anak-anak kita bahwa Allah senantiasa ada, bersama, melihat, mendengar, mengawasi, dan mencatat perbuatan dan keadaan mereka, jauh lebih penting dibanding perintah ‘amal itu sendiri.
Sungguh memahamkan pada anak bahwa Allah-lah yang senantiasa hadir di setiap ‘amal maupun hal, bahwa Dia Maha Mengetahui segala yang tampak maupun tersembunyi, yang mereka lakukan kala ramai bersama maupun sunyi sendiri, adalah dasar terpenting sebelum memerintahkan kebajikan dan melarang dari kemunkaran. Dan bahwa Allah akan membalas semua itu dengan balasan yang setimpal dan sempurna.
Penting bagi kita untuk mengatakan pada mereka, “Nak, Ayah dan Ibu tak selalu bias bersamamu dan mengawasimu, tapi Allah senantiasa dekat dan mencatat perbuatanmu. Dia Maha Melihat dan Maha Mendengar. Jangan takut kalau kamu berlaku benar dan berbuat baik, sebab Dia akan selalu menolongmu. Jangan khawatir ketika kamu berlaku benar dan berbuat baik, sebab sekecil apapun ‘amal shalihmu, meski Ayah dan Ibu serta Gurumu tak tahu, tak dapat memuji maupun memberikan hadiah padamu; tetapi Allah selalu hadir dan balasan ganjaran dari Allah jauh lebih baik dari segala hal yang dapat diberikan oleh Ayah dan Ibu.”
“Demikian pula Nak, jika kamu berbuat keburukan atau berbohong, sekecil apapun itu, meski Ayah, Ibu, maupun Ustadzmu tak menyadarinya, sungguh Allah pasti tahu. Dialah Dzat yang tiada satu halpun lepas dari pengetahuan dan kuasaNya, hatta daun yang jatuh dan langkah seekor semut di malam gulita. Dan Allah juga pasti memberi balasan yang adil pada setiap kedurhakaan padaNya, juga atas keburukan yang kamu lakukan pada Ayah, Ibu, dan sesama manusia lainnya.”
Inilah dia pokok-pokok pengajaran; dari sejak rasa syukur, tauhid, bakti kepada orangtua, taubat, hingga pemahaman akan hakikat ‘amal di hadapan Allah. Ianya harus menjadi perhatian setiap orangtua bahkan sebelum memerintahkan ‘amal terpenting di hidup anak-anak mereka yang akan dihisab pertama kalinya, yakni shalat. Kini kita tepekur menganggukkan kepala, mengapa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberi arahan agar kita memerintahkan shalat kepada anak barulah ketika dia berumur tujuh, dan barulah orangtua diizinkan memberi pukulan yang tidak menyakitkan dan tidak menghinakan pada umur sepuluh tahun ketika anaknya menolak shalat.
Sebab sebelum tujuh tahun, ada hal-hal jauh lebih besar yang harus lebih didahulukan untuk ditanamkan padanya.
“Duhai anakku tersayang, tegakkanlah shalat, perintahkanlah yang ma’ruf, cegahlah dari yang munkar, dan bersabarlah atas apa yang menimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara-perkara yang ditekankan.” (QS Luqman [31]: 17)
“Dirikanlah shalat dengan menegakkan batas-batasnya”, tulis Imam Ibn Katsir dalam Tafsirnya, “Menunaikan fardhu-fardhunya, serta menjaga waktu-waktunya.” Shalat yang mencegah perbuatan keji dan munkar pada diri selayaknya diikuti tindakan untuk mengajak dan menjaga manusia supaya tetap berada di dalam kebaikan dan terjauhkan dari keburukan. Shalat yang kita ajarkan pada anak-anak kita sudah selayaknya membentuk jiwa dakwah yang tangguh pada dirinya, hingga dia mampu bersabar atas segala yang menimpanya di dalam beriman, berislam, berihsan, berilmu, dan berdakwah.
“Dan janganlah engkau memalingkan muka dari manusia serta jangan berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanalah engkau dalam berjalan, serta tahanlah sebagian suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara keledai.” (QS Luqman [31]: 18-19)
Kata “Ash Sha’r”, menurut Imam Ath Thabari asalnya bermakna penyakit yang menimpa tengkuk seekor unta sehingga kepala dan punuknya melekat dengan wajah yang terangkat ke atas lagi bergerak ke kiri dan ke kanan di kala berjalan. Luqman melarang putranya dari mengangkat wajah dan memalingkan muka semacam itu dengan rasa sombong yang berjangkit di hati.
Inilah buah dari iman, ilmu, ‘amal, dan dakwah dari seorang putra yang dididik oleh ayahnya. Ialah akhlaq yang indah kepada sesama, berpangkal dari lenyapnya rasa angkuh dalam dada sebab mengenal dirinya dan merundukkan diri karena tahu bahwa dia hanya salah satu makhluq Allah yang memiliki banyak kelemahan serta kesalahan. Inilah akhlaq itu, yakni saripati yang manis, harum, dan lembut dari buah pohon yang akarnya kokoh menghunjam, batangnya tegak menjulang, dan cecabangnya rimbun menggapai langit.
Dan akhirnya, akhlaq itu disuguhkan dalam tampilan yang paling menawan berupa terjaganya Adab dengan cara berjalan yang sopan dan patut serta cara bicara yang lembut dan santun. Inilah pengajaran sempurna dari Luqman kepada putranya, digenapi dengan panduan mengejawantahkan akhlaq menjadi adab. Akhlaq adalah nilai kokoh yang menetap dalam jiwa. Adab mengenal zaman dan tempat yang bertepatan baginya.
Inilah bersusun-susun rasa surga di serumah keluarga, teladan dari Luqman dalam mewariskan nilai-nilai kebajikan pada anaknya, di lapis-lapis keberkahan yang penuh cinta.
sepenuh cinta,
salim a. fillah

Sang Titipan oleh Salim A. Fillah dalam Inspirasi, Rajutan Makna. 14/08/2014

“Ya Rasulallah”, demikian Ummu Sulaim bergegas menemui Sang Nabi ketika beliau tiba di Madinah dalam hijrah, “Semua lelaki dan perempuan penduduk Yatsrib telah menghaturkan hadiah kepadamu. Namun aku sungguh tak memiliki apa-apa untuk dipersembahkan. Maka inilah putraku Anas ibn Malik. Bahagiakanlah kami dengan menjadikannya sebagai pelayanmu.”
Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam menerima wakaf Ummu Sulaim itu dengan berbahagia. Beliau jadikan Anas sebagai sebaik-baik khadam, dan beliau perlakukan Anas dengan sebaik-baik keadaban. “Sepuluh tahun aku berada di rumah Rasulullah”, ujar Anas kelak, “Dan tak pernah sama sekali beliau menegurku dengan kata-kata, ‘Mengapa kau berbuat ini?’ atau ‘Mengapa tak kaukerjakan itu?’”.
Sejatinya, Anas bukan hanya menjadi pelayan, namun juga seakan dialah putra kesayangan dan murid Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang paling dekat. “Kami melihat Anas ibn Malik seakan-akan dia adalah bayang-bayang Rasulullah yang mengikuti beliau ke manapun pergi”, demikian kesaksian beberapa sahabat. “Tak ada yang shalatnya lebih mirip Rasulullah”, begitu kata Abu Hurairah, “Daripada putra Ummu Sulaim.”
Demikianlah. Selama sepuluh tahun, detak-detik kehidupan Anas ibn Malik berdenyut dan berdentam bersama derasnya wahyu dan luhurnya nubuwwah.Detak dan detiknya adalah lapis-lapis keberkahan.
Betapa berbahagianya dia menerima doa Rasulullah, “Ya Allah panjangkanlah umurnya, perbanyaklah anak dan hartanya, serta berkahilah baginya di dalam kesemua itu.” Maka Anas hidup hingga usia seratus tahun atau lebih, sentausa di tengah keluarga besarnya, sejahtera dengan kecukupan yang penuh berkah.
Dan Anas tahu, di rumah Rasulullah itu dia menghirup udara yang amat berharga, berada di antara debu-debu yang sangat bernilai, dan mengeja detak-detik yang penuh dengan lapis-lapis keberkahan. Maka dia mengerahkan segenap indranya untuk mengambil ayat-ayat ilmu, titis-titis rizqi, dan gerak-gerak ‘amal dari Sang Nabi, mendekapnya bagai permata di dalam jiwa, menuangkannya sebagai daya bagi raga.
Adalah Anas ibn Malik mengumpulkan air bekas mandi Rasulullah, lalu mencampurkannya ke dalam air mandinya. Adalah Anas ibn Malik mengumpulkan keringat Rasulullah, dan mencampurkannya ke dalam minyak wangi yang dibalurkan ke sekujur badannya. Adalah Anas ibn Malik mengumpulkan rambut yang jatuh, gigi yang tanggal, dan benda-benda peninggalan Rasulullah dari sandal hingga surbannya, untuk kelak dia wasiatkan diikutsertakan dalam penguburan dirinya.
Tapi yang paling berkah dari itu semua adalah, bahwa dari Anas ibn Malik kelak, ummat ini berhutang 2286 hadits yang dia riwayatkan. Betapa berharga matanya yang menyaksikan, telinganya yang menyimak, dan akalnya yang memahami sepanjang  detak-detik kebersamaannya dengan Rasulullah. Kini, tiap kali hadits-hadits itu ditulis, dihafal, diajarkan, dan diamalkan oleh ummat Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Anas ibn Malik berhak atas pahala yang tak henti mengalir hingga hari kiamat.
Sang titipin, menjelma menjadi mata air ilmu dan samudra keberkahan.

Senin, 28 Juli 2014

Demokrasi Bukan Jalan Perubahan

Demokrasi Bukan Jalan Perubahan

Turki. Itulah negara yang dipromosikan AS sebagai model perpaduan Islam dan demokrasi; model negara Islam moderat. Banyak tokoh Islam pun mengamininya. Salah satunya, Ahmad Syafii Maarif. Beliau bahkan memuji, “Di tangan Erdogan, Islam menawarkan solusi, bukan slogan formalisme seperti yang diusung oleh berbagai kelompok yang buta realitas. Selamat Erdogan, tidak mudah bagi Anda menghapus citra Islam yang dituduh orang sebagai agama antidemokrasi. You are on the right track, for sure.”
Padahal pemerintahan Turki sendiri mendeklarasikan bahwa pemerintahannya itu sekular, bagaimana mungkin diklaim sebagai penerap Islam. Dalam pidato di markas besar partainya seusai kemenangan definitif (12/6/2011), Erdogan menyatakan, “Kita akan membuat sebuah konstitusi liberal sama sekali. Timur, barat, utara dan selatan akan menemukan diri dalam konstitusi ini,” terang Erdogan.
Erdogan juga berkali-kali menegaskan mendukung sekularisme Turki. Saat berbicara dengan anggota Partai Keadilan dan Pembangunan Turki (17/4/2007), Erdogan menyatakan sikapnya mempertahankan sekularisme Turki. “Demokrasi, sekularisme dan kekuasaan negara yang diatur oleh undang-undang adalah prinsip utama dalam sebuah negara republik. Jika ada salah satunya yang hilang, maka pilar bangunan negara akan runtuh.”
Di sisi lain, kebijakan Turki terkait Israel tampak ambigu. Turki tampak keras terhadap Israel atas penembakan Kapal Marvimarmara. Namun, Turki tetap menjalin hubungan diplomatik dengan Israel. Presiden Turki bahkan meminta Gerakan Perlawanan Islam (Hamas) untuk mengakui hak Israel untuk eksis. Hal ini dilakukan setelah dilakukan “operasi diplomatik dan militer” Amerika Serikat di Turki. Bahkan dia mendukung dan memuji kebijakan Presiden AS Barack Obama. Dia menyatakan kebijakan Obama untuk membangun negara Palestina dalam perbatasan 1967 sebagai “langkah yang sangat penting”. Padahal bernegosiasi dengan Yahudi atas tanah yang diduduki tahun 1967 serta menuntut sebuah negara Palestina hanya di Tepi Barat dan Jalur Gaza sudah merupakan bentuk pengakuan yang terang-terangan terhadap entitas Yahudi, sekaligus bentuk pemberian legitimasi atas pendudukan wilayah yang dirampas tahun 1948. Hal ini menegaskan bahwa Turki merupakan model atas apa yang disebut sebagai Islam moderat—sebuah slogan Barat terhadap orang/negara yang menerima entitas Yahudi, tidak menyerukan penerapan syariah, menyanjung Barat dan diam dengan dominasi Barat di negegeri-negeri kaum Muslim. Oleh sebab itu, menyerukan agar meniru Turki dengan istilah “Membangun Tanpa Slogan Syariah” dan menempuh jalan demokrasi merupakan kekeliruan.

Demokrasi Bukan Jalan Perubahan Hakiki
Demokrasi digembar-gemborkan sebagai pemerintahan yang kedaulatannya terletak di tangan rakyat. Padahal ini hanyalah mimpi di siang bolong. Dalam demokrasi tidak pernah ada yang namanya rakyat sebagai penentu keinginan. Sejarah AS sendiri menunjukkan hal tersebut. Presiden Abraham Lincoln (1860-1865) mengatakan bahwa demokrasi adalah, “from the people, by the people, and for the people” (dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat). Namun, hanya sebelas tahun kemudian setelah Lincoln meninggal dunia, Presiden AS Rutherford B. Hayes, pada tahun 1876 mengatakan bahwa kondisi di Amerika Serikat pada tahun itu adalah “from company, by company, and for company” (dari perusahaan, oleh perusahaan dan untuk perusahaan). Sejak awal kelahirannya, kedaulatan dalam demokrasi ada di tangan segelintir rakyat (bukan di tangan rakyat), yakni di tangan para pemilik modal. Hanya saja, mereka menipu rakyat dengan menggembar-gemborkan seolah-olah kedaulatan ada di tangan rakyat. Jadi, bila perubahan yang dikehendaki adalah daulatnya rakyat maka demokrasi tidak memberikan hal itu. Yang berdaulat dan berkuasa dalam demokrasi adalah para pemilik modal yang memang memiliki uang.
Bila perubahan yang dikehendaki adalah terwujudnya kesejahteraan, demokrasi pun bukan jalan untuk itu. Realitas menunjukkan bahwa Hongkong sangat pesat ekonominya sekalipun tanpa demokrasi. Begitu juga Korea Selatan dan Taiwan. Pertumbuhan ekonomi Korea Selatan pada triwulan pertama 2011 mencapai 8,1%; tertinggi di antara negara-negara anggota Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD). Adapun pertum-buhan ekonomi Taiwan mencapai 10,47% pada akhir 2010 (Okezone.com, 2/2/2011). Padahal kedua negara tersebut semiotoriter.
Pada dekade 1970-an dan 1990-an, sebagian besar negara-negara industri baru (newly industrialised countries) yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi tergolong otoriter. Sebagian besar negara-negara di Timur Tengah yang makmur juga tidak demokratis. Adapun India, yang ketika itu sudah demokratis, memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran di bawahnya. Vietnam yang secara de facto menganut sistem pemerintahan otoriter juga mendemonstrasikan kinerja ekonomi yang menawan sejak pertengahan 1990-an. Pada 2011 pertumbuhan ekonominya mencapai 7%, bahkan diduga akan menjadi raksasa baru ekonomi Asia (Antara, 7/5/2011). Singapura yang juga semiotoriter menjadi salah satu negara paling makmur di dunia tanpa perlu mengalami demokratisasi. Hal yang sama terjadi pada Tiongkok yang bisa tumbuh pesat seperti sekarang, meski pemerintahannya tetap otoriter. Sebaliknya, Indonesia yang dibangga-banggakan sebagai negara demokratis justru rakyatnya tetap miskin, sementar korupsinya makin merajalela.
Banyak negara otoriter berhasil mengalami pertumbuhan ekonomi tinggi seperti sejumlah negara Amerika Latin di tahun 1970- 1980-an dan Asia Timur tahun 1980-1990-an. Sebaliknya, negara-negara berkembang yang relatif demokratis seperti Filipina, Fiji, atau India, setidaknya hingga pertenganan 1990-an, terpuruk pada siklus pertumbuhan rendah. Di AS, misalnya, kemakmuran yang selanjutnya diikuti dengan sejahteranya kehidupan masyarakat AS bukanlah hasil demokrasi, tetapi buah dari imperialismenya terhadap bangsa-bangsa lain. Dalam rangka menyelesaikan masalah ekonomi dalam negerinya, AS menjajah Irak dan Afganistan untuk mendapatkan minyak. AS mendapatkan kemakmuran karena ’democratic imperialism’/(penjajahan demokra-tik) yang dia lakukan. Tidak pernah ada dalam sejarah suatu negara miskin, lalu berubah menjadi demokratis, dan melalui demokrasi itu negara tersebut menjadi sejahtera. Tidak ada! Realitas ini menggambarkan bahwa demokrasi bukanlah jalan bagi perubahan menuju kesejahteraan apalagi perubahan hakiki.
Kalau yang dikehendaki itu adalah perubahan sistem kehidupan, demokrasi hanya memberikan perubahan orang/rezim. Sistem yang diterapkan sama: sekular. Sekadar contoh, Indonesia dari awal kemerdekaan tetap menjalankan sekularisme. Memang, terjadi perubahan pendekatan mulai dari Sosialisme pada Orde Lama, Kapitalisme pada Orde Baru, dan Neoliberalisme pada era Orde Reformasi. Namun, sistemnya tidak berubah: sekularisme. Perubahan yang terjadi hanyalah perubahan rezim penguasa. Dengan demikian, berharap adanya perubahan hakiki pada demokrasi ibarat punduk merindukan bulan. Utopis!

Islam: Jalan Kebangkitan Hakiki
Kebangkitan hakiki adalah kebangkitan yang menjadikan manusia sebagai manusia dan mendudukkan Allah SWT sebagai sesembahannya. Melalui kebangkitan hakiki akan teraih kemuliaan. Kebangkitan ini laksana perubahan dari kegelapan menuju cahaya. Satu-satunya jalan menuju cahaya itu adalah Islam. Caranya, menaati aturan Allah Pencipta manusia, dan meninggalkan semua jalan hidup selain Islam, termasuk demokrasi (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 257; QS al-An’am [6]: 153).
Rasulullah saw. menjelaskan dalam sunnah qawliyah maupun fi’liyah bahwa jalan penerapan Islam itu memerlukan kekuasaan pemerintahan Islam. Pada masa beliau wujud kekuasaan Islam. Kebangkitan dan perubahan hakiki sejatinya mengubah penyembahan manusia terhadap sesama manusia menjadi penyembahan manusia terhadap Allah SWT Pencipta manusia. Hal ini ditunjukkan oleh tegaknya syariah Islam sebagai wujud ketundukan manusia pada hukum-Nya. Keadaan ini akan melahirkan keamanan lahir dan batin dalam berbagai bidang. Berkaitan dengan hal ini Allah SWT menegaskan:
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الأرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih di antara kalian, bahwa Dia benar-benar akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa; Dia benar-benar akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah Dia ridhai untuk mereka; dan Dia benar-benar akan menukar keadaan mereka—sesudah mereka berada dalam ketakutan—menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah Aku tanpa mempersekutukan Aku dengan sesuatu pun. Siapa saja yang kafir sesudah janji itu, mereka itulah orang-orang yang fasik (QS an-Nur [24]: 55).

Dalam ayat tersebut Allah SWT menjanjikan empat hal yang saling terkait. Pertama: kekuasaan/kekhilafahan (istikhlaf). Kedua: peneguhan ajaran Islam (tamkinu ad-din). Ketiga: keamanan (al-amnu). Keempat: ibadah dan tidak syirik. Ujung dari semua ini adalah “Mereka tidak takut kecuali kepada-Ku” (Tafsir ath-Thabari, XIX/210).
Inilah kebangkitan hakiki. Adanya huruf waw (dan) dalam ayat itu menegaskan adanya keterkaitan yang kuat antara Khilafah, penera-pan syariah Islam, keamanan, serta kesejahte-raan baik dalam bidang materi, ruhiyah, akhlak maupun kemanusiaan (insaniyah). Dengan perkataan lain, perubahan yang hakiki hanya ada dalam penerapan syariah lewat kekuasaan Khilafah. Rasulullah saw. pun bersabda:
يَكُوْنُ فِيْ آخِرِ أُمَّتِيْ خَلِيْفَةٌ يَحْثُوْ الْمَالَ حَثْيًا لاَ يَعُدُّهُ عَدَدًا
Akan ada pada akhir umatku seorang khalifah yang memberikan harta secara berlimpah dan tidak terhitung banyaknya (HR Muslim).

Meniti Jalan Kebangkitan
Menjelang hijrah dari Makkah ke Madinah, Rasulullah Muhammad saw. mendapatkan wahyu:
وَقُلْ رَبِّ أَدْخِلْنِي مُدْخَلَ صِدْقٍ وَأَخْرِجْنِي مُخْرَجَ صِدْقٍ وَاجْعَلْ لِي مِنْ لَدُنْكَ سُلْطَانًا نَصِيرًا
Katakanlah (Muhammad), “Duhai Tuhanku, masukkan aku ke tempat masuk yang benar dan keluarkan pula dari tempat keluar yang benar, serta berikanlah kepada diriku dari sisi-Mu kekuasaan yang dapat menolong-(ku).” (QS al-Isra’ [17]: 80).

Berkaitan dengan hal ini Imam Ibnu Katsir mengutip pendapat Qatadah, “Rasul saw. tahu bahwa tidak ada kemampuan yang beliau miliki untuk melakukan hal itu (hijrah) kecuali dengan adanya kekuasaan. Karena itu, beliau memohon kekuasaan yang menolong Kitabullah, hukum Allah, kewajiban dari Allah dan kekuasaan yang menolong penegakkan agama Allah. Sebab, kekuasaan itu merupakan rahmat dari Allah yang Dia berikan di antara hamba-hamba-Nya. Andai saja tanpa kekuasaan niscaya orang kuat akan memakan orang lemah di antara mereka.” (Tafsir al-Quran al-’Azhim, V/111).
Dalam ayat ini setidaknya ada empat pelajaran yang dapat diambil terkait kebangkitan. Pertama: perlu memahami realitas buruk yang hendak dirubah. Kedua: perlu memahami realitas baik yang dituju sebagai pengganti realitas yang buruk tersebut. Ketiga: menempuh jalan perubahan itu sesuai dengan jalan yang digariskan oleh Allah SWT. Keempat: perlu adanya kekuatan untuk keberhasilan kebangkitan itu.
Siapapun yang mengkaji sirah Rasulullah saw. akan menemukan setidaknya ada dua hal yang dilakukan oleh beliau sebagai penjelas dari hal tersebut. Beliau terus-menerus melakukan pembinaan kepada masyarakat. Di dalamnya menyangkut penjelasan tentang kebobrokan kondisi Arab Jahiliah sekaligus tawaran Islam sebagai solusinya. Melalui jalan ini tumbuhlah kesadaran masyarakat, lalu masyarakat menuntut perubahan dengan penuh pengorbanan.
Nabi saw. tidak berhenti sampai di sini. Beliau pun mendakwahi para pemilik kekuatan (ahlul quwwah) dan meminta mereka untuk mendukung dakwah serta menolong beliau dalam meraih kekuasaan (thalab an-nushrah). Berkat kegigihan beliau, dengan izin Allah SWT, beliau mendapatkan pertolongan dari para pemimpin kabilah di Madinah sehingga tegaklah pemerintahan Islam pertama di Madinah.
Berdasarkan hal ini ada dua jalan yang mutlak ditempuh dalam menyongsong kebangkitan itu. Pertama: membangun kesadaran masyarakat tentang syariah dan Khilafah sebagai satu-satunya solusi bagi umat Islam dan seluruh umat manusia secara umum. Untuk itu, berbagai upaya pembinaan dan penyadaran perlu dilakukan terus di berbagai tempat dan kesempatan. Masyarakat yang sadar akan bersama-sama berjuang menuntut perubahan dengan tegaknya syariat dan Khilafah. Perjuangan masyarakat yang massif tidak akan pernah ada yang dapat menghalanginya. Satu-satunya pihak yang boleh jadi menjadi batu penghalang adalah para pemilik kekuatan. Untuk itu, perlu dilakukan aktivitas kedua: meraih dukungan dakwah dari para pemilik kekuatan. Oleh sebab itu, upaya thalab an-nushrah harus terus dilakukan dari berbagai pihak pemilik kekuatan, termasuk militer. Melalui jalan ini, insya Allah, kemenangan sebagaimana yang diberikan oleh Allah SWT kepada Rasulullah saw. 15 abad lalu akan diberikan kepada umatnya saat ini.

Menyerukan Kebenaran
Rasulullah saw., menjelang hijrah, juga mendapatkan perintah dari Allah SWT dalam lanjutan ayat di atas:
وَقُلْ جَاءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا
Katakanlah, “Kebenaran telah datang dan kebatilan telah lenyap. Sungguh, kebatilan itu pasti lenyap.” (QS al-Isra’ [17]: 81).

Berdasarkan ayat itu, tugas umat Islam adalah menyampaikan kebenaran apa adanya. Ketika kebenaran tampak maka kebatilan akan lenyap. Kebatilan hanya akan kalah ketika kebenaran disuarakan dengan lantang (Lihat: QS al-Anbiya’ [21]:18).

Kesimpulan
Jelaslah, demokrasi bukanlah jalan perubahan dan kebangkitan hakiki. Jalan kebangkitan umat Islam hanyalah syariah Islam dan Khilafah. Oleh sebab itu, setiap umat Islam perlu menyampaikan syariah Islam dan Khilafah dengan lantang. Tanpa itu, kebatilan akan terus merajalela. Sebab, orang yang diam dari menyatakan kebenaran adalah setan yang bisu (Al-Muwalat wa al-Mu’adat fi asy-Syari’ah al-Islamiyyah, 1/387).
WalLahu a’lam bi ash-shawab. []
Sumber
http://hizbut-tahrir.or.id/2011/10/03/demokrasi-bukan-jalan-perubahan/
 

Senin, 21 Juli 2014

Senarai Masa lalu yang Kelam...”kisah Perindu Cahaya


kala penat mengusik, ku selalu sempatkan tuk menulis karena dengan menulis aku menjadi berfikir. mencoba mengalihkan poros kepenatan pada kata-kata yang akan berjalan dalam lembaran putih microsoft Word dan terkadang pula saat tak ada inspirasi menulis ku tengok ruang FB melihat-lihat beranda yang fokusku tertuju pada 1 kata, iyah kata “catatan” yang ada disamping kiri beranda FB jika dilihat lewat web. Membaca...aku suka membaca apalagi yang kaitannya dengan cerpen, novel, artikel islami, dll pokoknya dimana ada catatan yang dirasa ada serpihan ilmuNya yang membawa kebaikan kan ku santap dengan lahap. Yummmi...kata-kata nan penuh ilmuNYa memang selalu lezat tuk dinikmati karena kenikmatannya tak hanya didunia saja bahkan jalan-jaln akhirat pun butuh pembekalan ilmu untuk menempuhnya :)
 
saya sangat berterimakasih sekali pada kawan2 FB yg suka menulis catatan yang mengandung nilai-nilai kebaikan, nasehat dll yang sejak pertama kali ku punyai akun FB, kumpulan catatan dari kalianlah yang temani diri saat berjalan pulang menuruni turunan di pertigaan ciomas semasa putih abu-abu, saat menunggu angkot yang tak kunjung datang pun juga saat didalam angkot sebelum terhenti di tempat tujuan. Sering juga saat guru belum hadir maupun tak masuk kelas “kumpulan catatan” di ruang FB lah yang temani diwaktu2 luang yang kupunya.
Ku masih ingat betul pertama kali ku buat akun FB, ketika itu aku masih kelas X SMA diawal semester 2. Nama akun pertama yang ku buat namanya “cahaya hati”  aku cendrung pilih2 kawan saat add teman harus ada kriteria, karena aku paling ga betah liat setatus alay, lebay nan bergalau-galau, karena fikirku jika tersering membaca hal-hal yang tak baik, cepat atau lambat perbuatan kan mengikutinya, terlebih lagi aku orangnya labil bangettt. Kriteria yang aku sematkan yaitu Cuma 2 hal sih :
1.      Yang diutaman teman yang sudah aku kenali entah 1 almamater, 1 kampung maupun tetangga dll pokoknya aku kenal orangnya meski tak akrab
2.      Aku cari-cari nama akun FB yang tidak menggunakan nama asli namun nama islami seperti nama2 para sahabat Rasul dll
Puncak kegemaranku eksis di media sosial FB ketika dikelas XII SMA aku mulai aktif diskusi tentang keislaman dengan kawan2 di FB entah di grup maupun fans page islami, bagiku seru selalu aada selipan ilmu ditiap harinya dan dari situlah ku mulai beranikan diri tuk menebar dakwah dengan update status yang berisikan tentang keislaman pun nasehat2. Masih ingat betul akan nama2 akun Fbku yang sering berganti-ganti terawal dari “cahaya Hati” “Menanti Malaikat Maut” “Goresan Pena Sang Mujahidah” “Kalam Sang Mujahidah Al-Bantani” dan semenjak awal perkuliahan aku baru berani merubah nama akun FB dengan nama pribadi “Suci Pratiwi Agustin” dan yang kurasakan ada beda saat kawan2 yang mendominasi adalah para mahasiswa di berbagai jurusan di tempat ku kuliah yang mana perbincangan akan segala hal tentang cinta, galau, keluhan, kasmaran menjadi begitu membludak di beranda, meski tak jarang ada juga yang buat status nasehat dan dakwah tapi sedikit. Saat ku pakai nama pribadi, bagai sedang ditunjukan akan sikap jahiliah sendiri dengan seringnya berbincang dengan nonmahron meski tak begitu penting. Astaghfirullah...
Lalu, di penghujung semester 2 kerinduan itu hadir...mulai ada tanya “ ini suci ??? rasanya bukan !!!” rindu itu hadir...merindukan sosok diri yang dulu, disaat tiada berlebihan dalam pergaulan lintas non mahron meski dalam tutur katanya, ku berfikir dahulu tiada separah sekarang. Dulu, aku tak pernah berani mempublish foto di media sosial saat kuliah aku mulai berani narsis depan kamera bahkan sempat memajang foto pribadi sebagai pp di FB sehingga, saat aku memasang foto pribadi tuk pertama kalinya ada koment dari kawan yang masih lekat ku ingat “tumben suci mau di foto”  lantas, komen itu ku acuhkan tanpa tanggapan. Hmmm...cukup menghela nafas panjang, saat mengingat masa2 jahiliah, sesal itu menggelayuti fikiran terlebih kesadaran itu muncul disaat kedatangan tamu mulia yaitu “Ramadhan” lalu, beberapa minggu kemarin tlah ku ganti nama akun FB mengikuti nama blog pribadiku “Kembara Muslimah Perindu Cahaya” berharap akan selalu ada rindu pada cahaya kebenaran hakiki yang membawa sinaran perintahNya sebagai petunjuk jalan tuk senantiasa memapah langkah-langkah kehidupan dalam belaian mesra ketaatan. Semoga...
Sebenarnya itu hanya prolog serpihan kisah yang sengaja ku ungkap selintas kata, ada banyak kisah yang ingin ku bagi tapi tak sekarang karena sekarang aku ingin membagi kisah yang hampir percis nan serupa dengan perjalanan kehidupanku dengan “virus merah jambu” dan yang paling tersyukuri meski aku begitu jahiliah Allah selalu memayungi aku agar tak terguyur hujan deras “pacaran” tapi, tak ku nafikan meski ada keterlibatan disana bedanya tak berstatus pacaran tapi, menjelma sebagai sosok sahabat, kawan dekat bahkan kawan sharing tanggapan. Iya, aku lebih suka mendengar pendapat dari laki2 yang cendrung bijak dan jujur dibanding dengan perempuan yg biasanya banyak yang ditutupi karena selalu menggunakan perasaan saat memberi tanggapan. Sedari SMA memang aku punya sahabat dari kalangan ikhwan yang begitu akrab dalam kata2 sebenarnya hanya sharing ilmu dan minta minta pendapat tak lebih kok. Lalu, saat awal perkuliahan aku pun sempat akrab dengan kk alumni yang satu SMA denganku dan disanapun sama hanya terniat tuk sharing ilmu, berbagi info pun memohon bantuan. Jujur, semenjak awal ku kenal “cinta” ketika masa2 masih MTS aku pernah menulis dalam diary “uci gak mau terlibat pacaran” kalimat polos yang saat ku buka lagi lembaran itu buat ku tersenyum apa karena kalimat ini aku masih terlindungi sehingga saat nyaris terjatuh dalam jurang kemaksiatan seakan ada yang menarik lengan teriring kata “ jangan kesana...!” 
Lalu, saat aku pulang menengok keluarga di serang bulan lalu, sebenarnya sambil menghantar adik kelas pulang juga. kulihat lagi tempat ku dibesarkan sedari kecil hingga SMA  dan dikamar inilah tersimpan ribuan kenangan. Namun, mataku tertuju pada tulisan kecil dekat pintu yang sempat ku tempel dengan tinta hitam yang berubah warna sedikit kuning karena memudar, nampaknya tak ada yang berani melepas selembar kertas pink itu yang tertuliskan 3 point kalimat pengingat :
1.      Nothing time for love, ok !
2.      Fokus belajar suci !
3.      Muslimah itu ga boleh cengeng gara2 nilai kecil
Nah, di point no 3 buat ku mengingat lagi masa2 SMA, kawan dekatku seperti nuy, aat, terlebih eva pastilah sering lihat aku menangis saat peroleh nilai ulangan yang kecil yang tak sesuai inginku. Ah...sampai saat inipun aku masih cengeng akan nilai padahal itu sekedar angka saja. Entahlah...bagiku hal yang paling buat galau nan memilukan pun juga membuat titik-titik air mata tak henti menetes adalah perkara nilai kecil. Karena aku kan merasa berdosa sekali disaat tak amanah dalm belajar, selalu terbayang sosok orang tua yang betapa payah nan susahnya mengumpuulkan lembar demi lembar uang tuk biayai keperluan sekolahku namun, ku balas dengan perlakuan tak baik yaitu “lalai dalam belajar”
Iyah...itulah secuil kisah serpihan masa lalu yang sedang ku amati tuk dijadikan pijakan agar tiada kembali menyentuh lahkahan2 kesalahan  lagi saat berjalan di waktu umur yang masih disisakanNya karena kita tiada pernah tau sisa nafas ini...sebentar lagi terpanggil tuk pulang atau masih berjarak lama. Tapi, yang pasti waktu selalu menjauhkan kita dari kehidupan dunia karena tugas dari waktu adalah mendekatkan kita pada akhirat semakin dekat tiap detiknya. Jadi, betapa rugi jika kita tiada memepersiapkan bekal tuk menempuh perjalanan mudik ke kampung akhiratNya...
Oh y, sesuai perjanjian di paragraf sebelumnya bahwa saya akan berbagi kisah dan kisah ini yang saya baca dicatatan FB syabab MHTI yang saat ini berkuliah di IAIN SMH Banten. Kisahnya begitu menyentuh yang membuat au teringat bahwa dahulu sekali akupun pernah alami hal yang hampir serupa bagai itu.
Silahkan membaca yah :)

Maaf, Bukan Untukmu lagi…

8 Oktober 2012 pukul 11:47
Maaf, Bukan Untukmu lagi…
Luruskan niat ikhlas dan langkah syar’i
Agar amal tak sia-sia…
Hari yang cerah, mentari pagi seolah tersenyum dan menyapa dengan hangat cahayanya. Terasa ringan kaki kulangkahkan kaki menuju kampus. Rasa bahagia ini belum juga luntur dari kemarin, saat pertama kalinya aku mengkaji kitab dalam forum halqoh, ah..jadi bagian dari perjuangan dalam mengembalikan kehidupan islam di bumi Allah ini, memang sesuatu! Meskipun baru menjadi pelajarnya.
“Fan, tungguin!”
Syifa berteriak jauh dibelakangku, astagfirullah..aku lupa sudah berjanji akan berangkat ke kampus bareng syifa. Kuhentikan langkahku, menengok kebelakang lalu segera memasang wajah bersalah “afwan ya syifa..aku lupa”, Kulihat syifa hanya manyun sesaat dan mempercepat langkahnya.
“semangat banget pagi ini, cie..ada apanya neh..”syifa menggodaku, aku hanya tersenyum dan angkat bahu. Kami berjalan menyusuri jalanan komplek perumahan tempat kami mengontrak rumah yang biasa kami sebut RUBIN (Rumah Binaan) Fikrul Mustanir. Hanya butuh waktu 10 menit berjalan kaki untuk sampai kekampus, dari pagar Rubin kami tinggal berjalan lurus saja mengikuti arah jalan, insyallah sampai kampus dengan selamat, yang penting jangan tergoda untuk berbelok, apalagi belok ke kanan, dangerous area!!^^
Tak terasa kami baru saja melewati gerbang belakang kampus, memasuki area kampus mungil ini, bersiap-siap untuk 2 visi besar berada di kampus ini. Senyumpun merekah, bagai mawar yang indah.
“udah jam berapa fan?” syifa dengan tiba-tiba bertanya kepadaku. Mungkin karena melihatku hari ini mengenakan jam tangan.
“baru jam tujuh lewat lima belas menit” jawabku, setelah terlebih dahulu melirik jam tanganku.
“ukhti fanny…ke  kelasnya duluan aja ya, aku ada keperluan dulu sebentar” pinta syifa, ah..syifa!katanya berangkat bareng,kok ke kelasnya sendiri-sendiri? Gumamku, tapi kujawab saja “oke..”.
“satu lagi..tolong bawain bukuku ya fan”
Kuraih buku tebal kimia analitik dari tangan syifa, kebetulan aku juga mau baca sebelum kuliah dimulai.
“jazakillah fanny..”
“waiyaki syifa..”
Aku dan syifa tersenyum, kebiasaan kami setelah aktifitas tolong menolong. Setelah itu syifa berlari kecil menuju tempat fotocopy yang tak jauh dari gerbang belakang kampus. Kampus belum terlalu ramai, senang rasanya berjalan-jalan sendirian dan masih menghirup udara segar.
“assalamu’alaykum..” ucapku cukup pelan saat kubuka pintu kelas yang sepertinya masih sepi, kupikir teman-temanku belum ada satupun yang datang. Habit bagiku mengucapkan salam ketika membuka pintu baik didalam ruangan ada orang atau tidak, bahkan ketika masuk kamar sendiripun demikian.
“wa’alaykumsalam..”
Ada yang menjawab salamku, ternyata sudah ada orang didalam kelas. Refleks saja dengan liar mataku mencari-cari siapakah gerangan yang menjawab salamku. Deg! Jantungku terasa berhenti sejenak, sesosok pemuda dengan buku digenggam tangannya sudah ada dibangku pojok paling belakang, sedetik kami sempat beradu pandang, setelah itu aku langsung tertunduk, menghindari tatapan tajam itu, dan selanjutnya jantungku lah yang bereaksi, berdetak lebih cepat. Astagfirullah..kenapa harus ada dia disini? tanpa berkata-kata lagi kuletakkan tas dan buku pada bangku yang berada dibarisan paling depan, berhenti sejenak,berpikir,duduk atau keluar? Lebih baik keluar, khawatir akan terjadi perbincangan yang justru mendekatkan diri pada khalwat. Tergesa-gesa sekali aku keluar kelas, tak peduli apa yang dipikirkannya tentang sikapku ini. Tak lama hp di saku jilbabku berbunyi, senandung lagu sambutlah khilafah menggema dalam gedung yang masih sepi itu, tanda sms masuk, segera kubuka “kenapa keluar lagi?”. Perasaan hatiku tambah gak karuan, apa dia sengaja datang sepagi ini untuk menemuiku?untuk apa? Ah..sudahlah tak usah dipikirkan, biar kutunggu saja diluar sampai kelas mulai ramai.
Bertemu dengan cara seperti ini memaksaku mengingat masa itu, masa lalu yang masih mengganggu pikirku. Pemuda yang ada dikelas itu namanya Chandra, sahabat yang kutemui diperkuliahan ini.
10  bulan lalu…
“Fan..gue gak bisa deket sama lo lagi” di bawah pohon yang dedaunannya mulai kering itu Chandra mengungkapkan keinginannya padaku. Aku hanya diam, terpaku dengan lidah yang kelu. Meski orang melihat kami sebagai sahabat, tapi sesungguhnya ikatan hati kami jauh dari sekedar sahabat, meski itu tak terungkap. Dia begitu mengenalku dan akupun begitu mengenalnya, jelas pernyataannya tadi membuatku terhempas jatuh kedasar jurang, haruskah ku ditinggalkan setelah kuberharap terlalu dalam untuk dapat menjadi pendamping hidupnya kelak?. Aku masih diam, kulihat dia mulai resah tak mendapatkan reaksi apapun dariku.
“Fan..gue gak mau lo akan lebih sakit lagi, karena jujur, yang gue inginkan untuk jadi penadamping gue nanti, itu bukan cewek kayak lo” kulihat Chandra sedikit ragu menyatakan hal ini. Tak tau apa yang kurasa saat ini, hancur!!kutahan air mata agar tak mengalir, pernyataan tadi sungguh menyakiti hati ini, kenapa tak kau ungkap dari dulu?sebelum ku begitu berharap padamu? Lirihku dalam batin yang mendadak beku. Aku tetap diam.
“Fan..gue gak maksud nyakitin lo..”Chandra mulai merasa bersalah. Lo udah nyakitin gue!. Aku bertahan dengan diam, sebenarnya aku bingung dengan apa yang harus kukatakan?. Hingga dia pergi aku tetap diam. Angin sore membelai rambutku perlahan, menjatuhkan beberapa helai daun kering yang kubiarkan menyentuh tubuhku yang tetap beku. Biarlah sore ini aku tetap disini, bersama pohon yang hampir mati.
8 bulan lalu...
Aku mulai berubah, kerudung sudah kupakai dengan konsisten, bukan cuma kuliah,kubeli banyak rok untuk menggantikan koleksi celana jeansku, aku juga sudah pakai kaos kaki biar auratku tertutup sempurna. Aku mulai mengkaji islam di LDK, yah..walaupun cuma ikut-ikutan. Kulakukan ini semua hanya untuk si penggenggam hati, Chandra. Begitu dalam perasaanku padanya hingga kurela meninggalkan kebiasaanku yang lama dan mengubah aktifitasku, yang penting buatku, Chandra akan tetap memilihku, bukankah hanya karena hal ini dia mencampakkanku, itu yang dinyatakannya via sms beberapa minggu yang lalu “bukan gue gak sayang sama lo fan, tapi gue juga harus mikirin masa depan gue, gue mau istri gue nanti itu perempuan yang sholehah”. Akan kupenuhi permintaanmu.
7 bulan lalu…
“Fanny..subhanallah, udah berubah ya sekarang..” ungkapan kaget itu keluar dari lisan kak Nisa, kakak seniorku dulu waktu SMA, usai kuliah kami tak sengaja bertemu, sebenarnya saat ini kami satu kampus, tapi karna selalu beda jadual  kuliah makanya jarang bertemu.
Aku hanya tersipu malu, karena sebenarnya sudah lama kak Nisa mengajakku mengkaji islam, tapi selalu saja kutolak.
“iya kak..” jawabku singkat
“Beruntunglah orang-orang yang dibukakan pintu hatinya untuk bertaubat” air muka kak Nisa  memperlihatkan begitu bahagianya dia melihat perubahanku, baru kulihat ada orang yang begitu tulus berbahagia untukku. Ah..membuatku berpikir, benarkah aku telah bertobat?mengingat kulakukan semua ini bukan karena Allah tapi Karena seorang pemuda. Tiba-tiba badai resah menghantamku dengan kuat.
“kak..boleh aku belajar islam dari kakak?” entah terpikir darimana pertanyaan itu, tiba-tiba saja dia datang dalam pikirku.
“Subhanallah..Sangat boleh sekali Fan” kenapa aku justru melihat kebahagiaan yang besar berada dalam diri kak Nisa, bukan dalam diriku, yang harusnya lebih bahagia sebab perubahan yang kualami. Terlalu dangkal ilmu yang kumiliki hingga ku tak mampu memahami fenomena ini.
“nanti kakak main deh ke kostan Fanny, kita atur jadualnya disana ya, sekarang kakak mau masuk dulu..pak Amin dah dikelas tuh”
Aku tersenyum dan menggangguk, setelah itu kak Nisa menghilang dari pandangan.
Sejak pertemuan itu, Kak Nisa sering berkunjung ke kostan, membawa makanan kecil dan bacaan untuk didiskusikan atau hanya sekedar numpang shalat karena kostan ku sangat dekat dengan kampus. Aku tau banyak hal dari kak Nisa, tentang perubahan hakiki, tentang ihsanul amal (amal yang baik) bahwa setiap amal yang kita lakukan harus memenuhi dua persyaratan agar amal tersebut dapat diterima oleh ALLAH SWT, pertama : harus ikhlas, melakukan sesuatu hanya karena Allah ta’ala, tidak boleh sedikitpun ada penanding Allah (untuk yang satu ini aku sangat tersinggung!namun begitulah adanya, sehingga harus kutata ulang niatku selama ini), yang kedua : caranya haruslah benar, yaitu sesuai dengan hukum syara’ dalam al Quran dan Sunah. Pertemuanku dengan Kak Nisa semakin sering dan semakin menarik, aku menemukan banyak jawaban atas pertanyaan-pertanyaan dalam kehidupanku yang selama ini hanya menjadi penyesak pikir, kudapatkan islam sebagai problem solver. Kak Nisa juga membuka paradigma pikirku, tentang problem umat manusia. Dulu hanya terpikir olehku, bahwa islam hanyalah pengatur ibadah ritual saja. Alhamdulillah, itu tak selamanya, karena saat ini aku dapat melihat islam dengan sempurna, islam mengatur segalanya dari masuk WC sampai bernegara.
2 bulan lalu…
Aku sudah tak di kost lagi, saat ini aku sudah bersama-sama dengan pejuang-pejuang islam di Rubin Fikrul Mustanir, bersama kak Nisa dan teman-teman yang lain. Kutemukan indahnya ukhuwah didalam sini, kutemukan arti hidup hakiki dengan jalan ini, bahwa aku adalah seorang hamba ALLAH.
Aku terbangun dari lelapnya tidur, lantunan lagu Sambutlah Khilafah menyapa telinga yang baru terjaga, kulihat jam di dinding kamar, baru jam 2, siapa yang sms malam-malam begini?padahalkan sudah ku setting alarm HP di jam 3. Deg!jantungku berdetak sedikit lebih cepat, sms dari Chandra, segera kubuka “Fan..shalat tahajud”, Cuma itu bunyi smsnya, singkat, namun tak sesingkat efeknya!. Astagfirullah..ya Allah, godaan ini begitu dasyat. Perasaan yang kubina bertahun lamanya memang belum sepenuhnya pudar, meski kutau bahwa tak ada ikatan halal dalam islam kecuali pernikahan. Setelah paham bahwa kehidupan wanita dan laki-laki adalah terpisah kecuali jika ada hajat syar’i, aku  mulai menjauhinya, kami memang dekat kembali setelah aku mulai menunjukan perubahan menjadi perempuan sholehah, tapi ingat, itu bukan karena Allah, tapi karena dia. Sehingga menurutku, perubahan yang sesungguhnya adalah bermula dari pertemuanku dengan kak Nisa. Aku tak mau menumpuk dosa, aku sudah cukup diperbodoh nafsu dengan membiarkan kecintaanku yang besar kepadanya dan perubahan palsuku itu. Aku letih, karena ternyata tak mudah menyingkirkannya dari kehidupanku ini. Saat inipun nafsu memaksaku untuk membalas smsnya, namun kuurungkan, keinginanku itu muncul kembali, kemudian kutersadar,ah..aku benar-benar dipermainkan!
“Fan..kamu udah bangun?” Kak Nisa yang sekamar denganku bertanya, cukup membuatku terkaget.
“eh..iya kak” seadanya saja ku menjawab, dia hanya tersenyum.
“shalat tahajud yuk..” ajaknya kemudian, langsung saja aku menggangguk.
“jangan lupa berdo’a, agar khilafah segera tegak ya..” katanya kepadaku, lalu berbisik padaku “juga do’ain kak supaya cepet dapet jodoh.oke?” kak Nisa mengerdipkan sebelah matanya nakal.
“Siip!!!” ku acungkan kedua jempolku. Selanjutnya kami tertawa bersama dan berebut kamar mandi.
Memang ini yang harusnya jadi bahan pemikiran setiap hari, memikirkan upaya apa yang harus dilakukan untuk mempercepat turunnya janji Allah ini.
“Fan..!! kok belum masuk kelas??”
Aku terkaget luar biasa, hampir jatuh jantung ini rasanya. Seketika rentetan cerita masa lalu yang sendari tadi terkenang buyar..yar..yar. Syifa sudah ada dihadapanku, ah.. sudah berapa lama pikirku melayang? Didepan kelas sudah sesak mahasiswa yang siap untuk perkuliahan hari ini.
“Fan..kok malah diem?” syifa kembali menegurku, bukannya tak mau menjawab pertanyaan syifa, Cuma jantungku kembali hampir jatuh, ketika tak sengaja mata ini mendapati pemuda yang kuhindari dikelas tadi sudah ada beberapa meter dihadapanku, dekat tangga berdiri bersama teman-temannya, menatapku sebentar dan tersenyum aneh. Astagfirullah..sama seperti sebelumnya langsung ku tertunduk, apa dia memperhatikanku dari tadi?. Segera kutepis pertanyaan aneh itu, ingat perubahanku ini hanyalah untuk Allah bukan untukmu lagi! Jadi, akan kurelakan engkau pergi, dan jangan ganggu aku lagi.
Dengan Jilbab yang hampir menyapu lantai (selalu diprotes beberapa dosen karena kata beliau nanti shalatnya gak sah, kami hanya tersenyum dan menjelaskan bahwa syarat jilbab memang wajib irkho menutup hingga kaki kita, rosulullah juga bersabda tanah selanjutnya akan mensucikannya karena waktu dulu para shahabiyah juga mengalami kesulitan ini dan segera bertanya pada rosul )aku dan syifa bergandengan masuk kedalam kelas, meninggalkan bayang masa lalu dibelakang, tepat dibelakang.